"Kenapa bulan juni masih sering hujan ?". "Kok musim kemarau banyak hujan ?".
Ini pertanyaan-pertanyaan klasik, dan biasanya ditanyakan berulang setiap tahun. Mayoritas masyarakat kita umumnya masih beranggapan (baca: 'terdoktrin') bahwa musim hujan itu identik dengan banyak hujan, dan kemarau dengan jarang hujan. Padahal, dalam beberapa dekade terakhir, banyak ditemukan fenomena cuaca dan iklim di wilayah kita yang bisa dibilang menyimpang dari kaidah-kaidah 'musiman' yang umumnya dikenal masyarakat, misalnya Madden-Julian Oscillation (MJO), Indian Ocean Dipole (IOD) dan lain-lain. Pada saat fenomena-fenomena ini terjadi, musim hujan bisa jadi 'kering', dan musim kemarau bisa jadi 'basah'. Dalam tulisan kali ini saya akan sedikit bercerita tentang Indian Ocean Dipole atau yg beken disebut IOD, serta pengaruhnya terhadap cuaca dan iklim di Indonesia.
Apa itu IOD ?
Sebelum penjelasan yg lebih rumit, mungkin anda pernah mendengar tentang El-Nino (ENSO) ? Simply speaking, IOD ini kurang lebih sama dengan ENSO. Perbedaannya adalah, kalau ENSO dibangkitkan di Samudera Pasifik, maka IOD mengambil tempat di Samudera Hindia. IOD ini sendiri termasuk fenomena yang baru ditemukan (dipublikasikan oleh Dr. N. Hameed Saji dkk. tahun 1999), jadi anda nggak usah minder kalau memang belum pernah dengar (:-P).
IOD adalah fenomena lautan-atmosfer di daerah ekuator Samudera Hindia yang mempengaruhi iklim di Indonesia dan negara-negara lain yang berada di sekitar cekungan (basin) Samudera Hindia (Saji et al., Nature, 1999). Sesuai namanya, IOD dikarakteristikkan oleh anomali suhu muka laut atau SST (Sea Surface Temperature) antara 'dua kutub' Samudera Hindia, yaitu Samudera Hindia barat (50E-70E,10S-10N) dan tenggara (90E-110E,10S-0S). Perbedaan anomali SST antara dua daerah ini disebut sebagai Dipole Mode Index (DMI), dan digunakan untuk mengukur kekuatan dari IOD itu sendiri. Periode di mana DMI bernilai positif umumnya disebut sebagai periode IOD positif (IOD+), dan sebaliknya, ketika DMI bernilai negatif disebut periode IOD negatif (IOD-).
Seperti halnya ENSO, IOD juga sangat berpengaruh terhadap cuaca dan iklim di Indonesia.
Pada periode IOD+, perairan di Samudera Hindia bagian tenggara umumnya lebih "dingin" (suhu lebih rendah dari rata-rata), di mana perairan di Samudera Hindia bagian barat akan lebih "hangat" (suhu lebih tinggi dari rata-rata). Akibatnya, konveksi (yang merupakan proses awal terbentuknya awan dan hujan) akan bergeser dari Samudera Hindia bagian timur ke arah barat, dan membawa banyak hujan ke bagian timur benua Afrika. Di sisi lain, daerah Samudera Hindia bagian timur yang "ditinggal lari" konveksi tadi (seperti Indonesia) akan menderita kekeringan.
Karakteristik periode IOD- adalah kebalikan dari IOD+. SST di Samudera Hindia bagian tenggara akan lebih hangat, sementara di bagian barat akan lebih dingin, sehingga konveksi akan bergerak ke arah timur. Hal ini akan berakibat pada kekeringan di Afrika bagian timur dan curah hujan yang meningkat di Indonesia, terutama Indonesia bagian barat yang berdekatan dengan Samudera Hindia.
Sekarang mari kita kaitkan IOD dengan fenomena "kemarau basah" yang terjadi pada pertengahan tahun ini.
Gambar di atas menunjukkan anomali SST dan medan angin rata-rata pada level 850 hPa untuk bulan Juni 2013. Kontur dengan shade merah menunjukkan anomali positif, sedangkan biru menunjukkan anomali negatif. Terlihat jelas bahwa bulan Juni 2013 adalah periode IOD-, di mana SST di daerah Samudera Hindia barat lebih dingin dari SST rata-rata (SST klimatologi), sementara SST di daerah Samudera Hindia Tenggara (terutama di perairan Indonesia) lebih hangat. Hal ini menyebabkan konveksi akan bergerak ke timur menuju wilayah Indonesia, dengan kecepatan angin mencapai 20 m/detik. Lalu bagaimana pengaruhnya terhadap curah hujan di Indonesia ?
Gambar di atas menunjukkan curah hujan dan medan angin rata-rata dengan periode yang sama dengan anomali SST di gambar sebelumnya. Dari gambar terlihat hujan lebih terkonsentrasi pada Samudera Hindia timur dan tenggara, dibandingkan dengan samudera Hindia bagian barat yang curah hujannya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa IOD merupakan salah satu faktor utama penyebab tingginya curah hujan di Indonesia bagian barat pada bulan Juni 2013.
Pertanyaan berikutnya adalah, seberapa besar pengaruh IOD terhadap curah hujan di Indonesia dari waktu ke waktu ?
Gambar di atas adalah grafik time series dari DMI dan curah hujan di Samudera Hindia tenggara (90E-110E, 10S-0S), yang mencakup wilayah Indonesia bagian barat, sejak Januari 2012 sampai Juni 2013. DMI mulai bernilai negatif sejak awal Mei 2013 hingga mencapai nilai terendah (dalam 1,5 tahun terakhir) pada bulan Juni 2013, yang diikuti oleh peningkatan intensitas hujan pada periode tersebut. Kondisi lebih ekstrim bisa kita lihat pada bulan Agustus - Oktober 2012. Bulan September - Oktober sejatinya adalah periode peralihan antara musim kemarau dan hujan, di mana fenomena cuaca lokal seperti Thunderstorm akibat siklus diurnal mendominasi wilayah Indonesia bagian barat. Jadi pada kondisi normal, curah hujan pada bulan-bulan tersebut seharusnya mulai meningkat sebelum memasuki musim hujan. Namun, akibat IOD+, curah hujan pada bulan tersebut menjadi sangat rendah.
Dari gambar juga terlihat bahwa tidak selamanya IOD berpengaruh terhadap intensitas curah hujan. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh fenomena lain seperti Monsun, Madden-Julian Oscillation (MJO), Kelvin Wave dll. Fenomena yang dominan umumnya ditentukan berdasarkan indeks yang bersangkutan. Jadi tidak usah heran kalau pada musim hujan terkadang tidak hujan, dan sebaliknya, musim kemarau malah sering hujan, karena fenomena cuaca di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh Monsun yang umumnya lebih populer di masyarakat.
Pada bulan Mei-Juni 2013, pengaruh IOD- bisa dikatakan dominan karena periode tersebut seharusnya merupakan awal musim kemarau, sementara fase basah akibat MJO umumnya hanya berlangsung 1-2 minggu, yang diikuti oleh fase kering. Saya belum sempat menganalisis pengaruh fenomena lain yang siklusnya lebih rendah seperti Kelvin wave, Rossby wave dll. Namun berdasarkan data dan hasil analisis sementara, fenomena kemarau basah tahun ini memang lebih condong disebabkan oleh IOD.
Untuk sementara cukup sekian paparan mengenai IOD dan kontribusinya terhadap fenomena 'kemarau basah' tahun ini. Semoga memberi pencerahan kepada pembaca. Kritik dan saran yang membangun bisa ditulis pada bagian komentar atau di email langsung ke ardhi108@yahoo.com.
Terima kasih.
-ardhi-
-------------------
Acknowledge and notes :
- NOAA_OI_SST_V2 data provided by the NOAA/OAR/ESRL PSD, Boulder, Colorado, USA, from their Web site at http://www.esrl.noaa.gov/psd/.
- GSMaP NRT data provided by JAXA, Japan, from their Web site : http://sharaku.eorc.jaxa.jp/GSMaP/index.htm.
- The first and second image about IOD in this post were acquired from http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/e/iod/about_iod.html
- Tulisan ini juga bisa dibaca pada http://infohujan.wordpress.com
Waah, keren sekali bang artikelnya, ga cuma ini, semua tentang meteo bermanfaat banget buat saya. Kebetulan saya saat ini mengenyam kuliah di meteorologi ITB bang hehe, angkatan 2015. Sekali kali kalo boleh buat tutorial grads yg ngehasilin plot kayak di atas dong bang hehe
ReplyDeleteSudah banyak kok di internet, coba cari deh :-)
DeleteSalam sama Pak Joko & Ruse