Tuesday, December 30, 2014

Meteo #15 - Mengenal Cumulonimbus dan Awan-awan yang Berbahaya dalam Penerbangan

Cumulonimbus atau Cb, adalah salah satu awan vertikal yang dapat tumbuh menjulang hingga ketinggian 60 ribu kaki (18 km lebih), dan terbentuk karena beberapa sebab, namun yang paling umum adalah proses konveksi akibat pemanasan permukaan bumi oleh radiasi matahari dan kondisi atmosfer yang tidak stabil. Cumulonimbus sangat mudah terbentuk di daerah tropis karena proses konveksi di wilayah ini sangat kuat, dan dari awan inilah 'lahir' berbagai fenomena cuaca esktrem seperti badai tropis (typhoon/topan), badai petir (thunderstorm), hujan es (hail storm), tornado sampai angin puting beliung yang beberapa waktu lalu terjadi di Bandung.
Awan Cb mudah dikenali dari penampilannya yang memang beda dari yang lain, umumnya dengan dasar awan landai, 'tiang' awan menjulang dan puncak yang berbentuk seperti landasan atau alas untuk menempa logam.
1419819227649357053
Awan Cumulonimbus di atas Filipina
Awan ini sangat berbahaya bagi penerbangan karena beberapa hal. Yang pertama adalah proses vertical draft atau gerakan vertikal udara yang terjadi dalam awan. Gerakan vertikal ini dapat naik (updraft) atau turun (downdraft), dan proses ini sebenarnya lazim terjadi dalam awan. Bumping yang terjadi pada saat pesawat yang kita tumpangi masuk ke dalam awan juga disebabkan oleh vertical draft. Pada awan Cb, proses ini jauh lebih kuat, dan turbulensi yang dihasilkannya dapat menghempaskan pesawat yang terjebak di dalamnya. Faktor lain yang membahayakan adalah partikel es awan Cb yang dapat membekukan bagian-bagian pesawat, termasuk mesin. Dan karena partikel-partikel es ini juga, awan Cb adalah salah satu jenis awan yang paling sering menghasilkan petir yang dapat mengacaukan sistem kelistrikan dan navigasi pesawat.
1419820123788865533
Proses konveksi dan vertical draft dalam awan Cb 
(courtesy of http://research.metoffice.gov.uk)
Karena puncak awan Cb dapat mencapai 60 ribu kaki, pilot umumnya akan memilih menghindari awan ini ke arah samping (pesawat jet umumnya terbang pada ketinggian 30-40 ribu kaki, atau sekitar 9 - 12 km).
Jenis awan lain yang berbahaya bagi penerbangan (khususnya di Indonesia) adalah awan Lenticular, dinamai demikian karena bentuknya yang mirip dengan lensa. Berbeda dengan Cb, awan Lenticular ini terbentuk akibat aliran udara yang melewati penghalang, misalnya pegunungan, yang menyebabkan terjadinya pusaran (eddie) yang membentuk awan ini. Awan Lenticular mudah dikenali dari bentuknya yang seperti piring terbang (UFO), dan biasanya bisa kita amati di sekitar Gunung Salak di Bogor/Sukabumi.
1419821183144534128
Awan Lenticular di Gunung Salak (Courtesy of id.wikipedia.org)
Awan Lenticular dapat menyebabkan turbulensi yang kuat bagi pesawat-pesawat yang terbang dekat dengan puncak pegunungan dan uniknya, umumnya awan ini justru digemari oleh pecinta Glider karena daya angkatnya yang kuat.
Selain awan, terdapat juga beberapa fenomena atmosfer yang umumnya tidak terlihat mencolok, tapi sangat berbahaya bagi penerbangan, misalnya Virga. Virga adalah presipitasi atau hujan yang tidak sampai permukaan karena menguap di atmosfer.
14198226702051630025
Virga (courtesy of de.wikipedia.org)
Pada saat partikel air/es yang jatuh dari awan menguap, panas yang diserap proses tersebut akan menyebabkan temperatur udara di sekitarnya turun drastis dan lebih berat, sehingga menghasilkan downdraft yang sangat kuat (microburst), yang berpotensi menghasilkan turbulensi ekstrem pada pesawat yang melintas di bawahnya. Walaupun biasanya jarang teramati dari bawah (permukaan bumi), Virga bisa terlihat pada saat penerbangan, dengan bentuk seperti tirai yang menjuntai dari awan.

Thursday, December 4, 2014

Meteo #14 - Siklon Tropis, Monster yang Tak Pernah Mau Singgah ke Indonesia

14176093081101344617
Menurut laporan cuaca terkini, Siklon Tropis yang diberi nama 'Hagupit' terdeteksi sedang bergerak menuju Filipina, negara tetangga kita yang setahun lalu porak poranda oleh 'Haiyan', yang konon merupakan salah satu siklon tropis terkuat yang pernah tercatat dalam sejarah.
Lalu apakah siklon tropis ini bakalan nyelonong ke Indonesia ? (anda mungkin sudah tahu jawabannya dari judul tulisan ini).
Siklon tropis merupakan fenomena cuaca yang merupakan produk akhir dari pusat tekanan rendah di perairan tropis ditambah efek Coriolis karena rotasi Bumi. Kenapa di perairan tropis ? Karena penguapan akibat radiasi matahari paling tinggi adanya di wilayah tropis, dan air adalah bahan bakar utama dari siklon itu sendiri. Ketika udara disekitarnya tertarik ke arah pusat tekanan rendah, pusaran mulai terjadi akibat efek Coriolis. Efek coriolis terjadi ketika suatu objek bergerak lurus dari satu titik ke titik lain, pada bidang yang berputar. Dalam kasus siklon, objek tersebut adalah aliran udara, sementara bidangnya adalah Bumi yang berotasi. Akibatnya, pergerakan  tadi tidak akan lurus tetapi berbelok, membentuk pusaran. Ketika kecepatan angin yang dihasilkannya sudah melewati 70 mil per jam, pusaran ini 'resmi' disebut sebagai Siklon Tropis, atau Hurricane (di daerah Atlantik/Pasifik Timur) atau Typhoon (di daerah Pasifik Barat). Orang Indonesia sendiri lebih sering menyebutnya Topan. Dan bak monster, kehancuran terjadi di daerah-daerah yang dilaluinya akibat hujan lebat, angin kencang dan ombak tinggi yang dibawa si topan ini.

Efek Coriolis yang menyebabkan pusaran siklon tropis memiliki pengaruh dominan di lintang 5 derajat - 30 derajat. Karena bahan bakarnya adalah air, maka siklon tropis umumnya akan melemah ketika memasuki daratan. Filipina, negara tetangga kita, sering jadi bulan-bulanan Siklon Tropis tidak hanya karena posisinya yang berada di daerah dengan pengaruh efek Coriolis yang dominan, tapi juga karena kondisi geografisnya sebagai negara kepulauan. Berbeda dengan daratan yang airnya relatif sedikit, wilayah kepulauan memiliki cukup air (dari lautan dangkal yang mengelilinginya) sebagai bahan bakar siklon tropis.
Bagaimana dengan Indonesia ? Walaupun juga merupakan negara kepulauan, efek Coriolis di daerah khatulistiwa (lintang 0-5 derajat) sangat kecil, sehingga siklon tropis praktis tidak pernah terjadi di Indonesia. Walaupun tidak pernah mengalami siklon tropis, Indonesia masih tetap terkena pengaruh siklon yang wara-wiri di sekitarnya. Biasanya kalau ada siklon di sekitar Filipina, cuaca di sekitar Kalimantan dan pulau-pulau lain di utara Indonesia juga ikut memburuk, tentunya dengan skala yang jauh lebih kecil dibandingkan daerah yang dilalui siklon.
Sebagai penutup, berikut adalah citra jalur siklon tropis di dunia yang terekam sejak tahun 1945 - 2006 oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), USA.


1417610339280192437
Tropical Cyclone Tracks 1945-2006 (Courtesy of NOAA)


Jadi ... masih adakah yang tidak bersyukur tinggal di Indonesia ?

Tuesday, December 2, 2014

Meteo #13 - MJO, Ketika Cuaca Basah dan Kering Datang Beriringan


Minggu pagi, 30 November 2014, ada yang berbeda dengan langit Jakarta. Cuaca pagi hari yang biasanya cerah kini berganti suram. Awan mendung menggantung, disertai hembusan angin yang cukup kencang dari barat, sudah cukup untuk menahan saya beranjak dari kasur untuk jogging pagi di car-free-day. Tiris, kalau orang Sunda bilang.
Setengah ngantuk, saya berpikir. Sudah masuk musim hujankah ini ?
Tapi ini kan masih akhir November. Saya mungkin bukan pakar cuaca, tapi menurut pengalaman, kondisi seperti pagi ini biasanya baru akan terjadi menjelang akhir Desember atau awal Januari. Setelah tengok data cuaca di sana-sini, benar dugaan saya. Kondisi cuaca hari ini bukan dikarenakan musim hujan, tetapi MJO.
Lalu apakah itu MJO ? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap cuaca di Indonesia ? Untuk memahami konsep MJO, mari kita ulas dahulu musim di Indonesia.
Apabila diibaratkan, musim di Indonesia itu laksana gelombang yang memiliki siklus, di mana musim hujan yang terjadi akan selalu diikuti oleh musim kemarau. Siklus ini berulang setiap tahun dan waktu terjadinya bisa bervariasi tergantung lokasi geografis. Untuk wilayah Jakarta dan Jawa bagian barat misalnya, musim hujan akan terjadi pada akhir dan awal tahun, sementara musim kemarau terjadi pada pertengahan tahun, begitu seterusnya. Saya yakin para pembaca sudah mafhum akan hal ini.


Seperti halnya musim, MJO atau Madden-Julian Oscillation juga bisa diibaratkan seperti gelombang, atau lebih tepatnya : gelombang yang merambat. Berbeda dengan musim, siklus MJO ini tidak terjadi setahun sekali, tapi setiap 30-90 hari dan bergerak dalam bentuk anomali konvektif yang mengelilingi Bumi dari barat ke timur. Karena proses pembentukan awan dan hujan di wilayah tropis sangat dipengaruhi oleh proses konvektif (akibat pemanasan bumi oleh radiasi matahari), maka otomatis MJO sangat berpengaruh terhadap cuaca di Indonesia. Pada saat MJO melintas, daerah yang dilaluinya akan mengalami apa yang disebut sebagai periode basah, yang kemudian diikuti periode kering. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar di bawah :

14174295421724403058
Proses perambatan MJO di Indonesia (Courtesy of NOAA)

Pada saat periode basah terjadi, perawanan (tolong dibaca : per-awanan) meningkat secara signifikan, mendung terjadi sepanjang hari, dan terkadang diikuti oleh hujan ringan hingga lebat dan angin kencang dari barat. Periode basah ini biasanya terjadi selama 5 - 15 hari, lalu datanglah periode kering. Sesuai namanya, pada periode kering awan lebih sukar terbentuk (bahasa kerennya, convectively suppressed), dan sebagaimana kita tahu, bila tidak ada awan, tentunya tak akan ada hujan. Karena siklusnya yang jauh lebih singkat dibanding musim, MJO biasa disebut sebagai variasi intraseasonal atau variasi musim di dalam musim itu sendiri. Fenomena ini sendiri baru ditemukan oleh Rolland Madden dan Paul Julian di awal tahun 70-an, yang dituliskan dalam jurnal ilmiah dengan judul “Detection of a 40-50 day oscillation in the zonal wind in the tropical Pacific”.
Secara matematis, MJO bisa dideteksi dan diprediksi dengan mengamati beberapa parameter fisis di atmosfer, misalnya Outgoing Longwave Radiation (OLR) dan komponen angin zonal (barat-laut). Parameter-parameter tersebut dapat diolah untuk menghasilkan suatu Indeks MJO, yang bisa digunakan untuk mendeteksi posisi dan kekuatan MJO yang terjadi, seperti gambar di bawah ini.





14174293702119727635
Real-time Multivariate MJO index (RMM), yang menunjukkan posisi dan kekuatan MJO (Courtesy of Bureau of Meteorology, Australia)

Gambar di atas adalah grafik indeks MJO yang dirilis oleh BOM (BMKG-nya Australia), yang menunjukkan ‘rute perjalanan’ MJO selama 40 hari terakhir, dengan data terbaru adalah tanggal 29 November (ujung kurva biru). Terlihat bahwa pada tanggal 29 November, MJO berada pada fase 4 yang notabene adalah benua maritim Indonesia bagian barat. Dalam kondisi ini, cuaca di wilayah Indonesia bagian barat umumnya akan mendung disertai hujan selama beberapa hari ke depan, lalu diikuti oleh cuaca kering beberapa hari berikutnya.



1417429643436673681
Prediksi MJO untuk 15-hari ke depan (Courtesy of NOAA).



Gambar di atas menunjukkan prediksi MJO berdasarkan anomali OLR dalam 15 hari ke depan, dimulai dari tanggal 29 November 2014. Terlihat kondisi perawanan yang tinggi pada hari ke-1 sampai ke-5 di hampir seluruh wilayah Indonesia yang digambarkan dengan kurva biru (anomali negatif), pada saat inilah terjadi periode basah. Selanjutnya pada hari ke-6 sampai ke-15, terlihat bahwa perawanan bergeser ke timur (Samudera Pasifik), digantikan oleh periode kering dalam bentuk anomali OLR positif (kurva kuning), di mana awan sukar terbentuk di wilayah Indonesia.
Apakah prediksi ini akan benar terjadi ? Kita lihat saja dalam dua minggu ke depan. Yang penting sekarang, tidak perlu bingung kalau nanti di pertengahan Desember atau saat musim hujan, cuaca menjadi kering seperti kemarau, karena MJO adalah fenomena yang normal terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia.
Semoga bermanfaat.