Thursday, November 19, 2009

Halmahera #2 - The Ring of Fire


"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman ..."

Demikian sepotong lirik lagu Kolam Susu karya Koes Plus yang melegenda. Banyak orang yang setuju dengan ungkapan syairnya. Aku sendiri hanya 50% sepaham dengan orang-orang konservatif itu. Malangnya, setelah kuliah di Jurusan Geofisika dan Meteorologi, nilai kesepahaman itu anjlok lagi menjadi 25%. Andaikan waktu itu Koes Plus mengerti ilmu Geofisika, mereka pasti akan berpikir ulang menjuluki negeri kita, Republik Indonesia yang tercinta ini, dengan sebutan 'Tanah Surga'.

Kenyataannya, kepulauan Indonesia berada tepat di pertemuan 3 lempeng tektonik utama di dunia : Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia. Lempeng-lempeng ini terus bergerak, menekan, menyusup ke dalam mantel bumi di bawah lempeng tektonik lainnya. Subduction, itu istilah kerennya. Konon, pergerakan dari proses ini hanya sekitar puluhan milimeter setiap tahun. Tapi angka puluhan mili ini bisa menjadi masalah besar, karena bila dilihat dari skalanya, ukuran lempeng tektonik jelas bukan tandingan manusia. Gaya yang ditimbulkan dari friksi antar lempeng inilah yang jadi bencana yang biasa disebut dengan Gempa Bumi.

Jadi bisa dibayangkan, betapa strategisnya posisi negara ini dengan berada tepat di atas pertemuan 3 lempeng tektonik utama tadi. Dan atas 'prestasi' tersebut, Indonesia berhak menyandang titel The Ring of Fire area, alias salah satu wilayah yang memiliki aktivitas vulkanik dan gempa bumi terbanyak di dunia.

Setahuku sampai saat ini, belum ada satu orang pun yang bisa meramalkan kapan dan di mana gempa bumi terjadi, kecuali seorang perempuan bernama Laurentia Pasaribu, yang oleh kalangan penggosip, dikenal dengan nama Mama Laurent, tentu saja karena ramalannya yang lebih sering meleset dari kenyataan. Sisanya, hanya manusia-manusia tak berguna yang gemar menyebar hoax gempa lewat SMS, Twitter, Facebook dan situs-situs jejaring sosial lainnya.

Namun kalau dipikir lagi, para penyebar hoax tersebut masih jauh lebih baik dibandingkan dengan nelayan-nelayan dari salah satu negara tetangga di utara Indonesia, yang luasnya hanya sekitar 300 ribu kilometer persegi, bernama lengkap Republika ng Pilipinas alias Filipina. Sudah lama sekali nelayan-nelayan Filipina ini -terutama yang berdomisili di selatan pulau Mindanao- menjadi musuh bebuyutan para peneliti, terutama di bidang Oceanography dan Marine Geology.

Apa pasal ? Nelayan-nelayan Mindanao punya reputasi mentereng yang disegani para ilmuwan : Vandalisme. Jangankan ikan atau biota laut lainnya, benda-benda mati, yang seharusnya tidak layak masuk ke perut pun akan mereka sikat. Mulai dari Tsunami Buoy bernilai miliaran rupiah sampai pelampung yang tidak laku dijual di pasar loak pun akan diembat. Tidak heran, banyak peneliti, baik itu peneliti lokal maupun asing,  akan geram dan menitikkan air mata kecewa begitu mengetahui instrumennya yang baru terpasang (di-deploy) di daerah kekuasaan laut para nelayan ini, raib atau rusak, hanya dalam hitungan hari.

Semboyan nasional Filipina :  Maka-Diyos, Maka-Tao, Makakalikasan, at Makabansa (Untuk Tuhan, Rakyat, Alam dan Negara) tak digubris sama sekali. Padahal, maksud pemasangan instrumen-instrumen ini sudah jelas, untuk kebaikan tiap umat manusia yang hidup di daerah perbatasan Indonesia-Filipina, termasuk nelayan-nelayan yang tak tahu diuntung tersebut. Sepertinya para pencari ikan itu tidak tahu kalau perairan di antara Halmahera dan Mindanao merupakan salah satu titik paling vital dari Ring of Fire, pertemuan 3 lempeng utama yang sudah dijelaskan di atas tadi, yang artinya, gempa bumi bawah laut di daerah ini berpotensi menimbulkan Tsunami yang bisa jadi lebih mengerikan dibandingkan Tsunami Aceh tahun 2004 silam.


Saking jengkelnya, salah seorang rekan peneliti pernah menyarankan agar bagian luar instrumen-instrumen yang terpasang di daerah ini dialiri dengan listrik ratusan volt, maksudnya agar para vandal berkedok nelayan tadi kapok. Sayangnya, usul tadi ditolak mentah-mentah, konon selain karena mahal biayanya, menyetrum nelayan yang mencari nafkah di laut belum pernah ada sejarahnya dan sangat bertentangan dengan hak asasi manusia.

Tapi kalau bicara soal musuh-memusuhi,  seteru abadi para nelayan Mindanao ini tidak lain dan tidak bukan, adalah nelayan Indonesia, terutama yang tinggal di daerah pesisir Sulawesi Utara dan Halmahera Utara. Asal muasal persengketaan yang sudah terjadi bertahun-tahun ini sudah jelas, rebutan ikan, tidak peduli itu ikan paus, ikan hiu atau cuma ikan teri. Ironisnya, nelayan Indonesia umumnya berada pada pihak yang kalah. Selain karena pemerintah Indonesia terlalu sibuk dengan masalah TKI ilegal, penyiksaan TKI atau kasus artis sinetron dadakan bernama Manohara Odelia Pinot,  nelayan-nelayan Filipina ini biasanya dibekali dengan persenjataan lengkap layaknya perompak Somalia. Konon, nelayan Indonesia akan langsung ciut nyalinya begitu mengenali kapal penangkap ikan Filipina dalam jarak 5 mil laut, dan umumnya setelah itu, nelayan-nelayan kita akan menyingkir, membiarkan daerahnya yang sebenarnya masih dalam wilayah negara kesatuan RI itu dijajah oleh nelayan-nelayan tengik dari negara tetangga.

"Lebih baik pulang makan ikan busuk hasil tangkapan daripada membusuk dimangsa ikan di laut akibat ditembaki nelayan Filipina ..", demikian pengakuan seorang nelayan yang kukenal di Bere-bere, Morotai, pulau di utara Halmahera yang juga merupakan salah satu pulau paling utara di republik ini. Seperti itulah gambaran kerasnya kehidupan para nelayan kita yang ada di daerah perbatasan.

Kesimpulan sementara yang bisa kutarik, jangan coba-coba menyanyikan lagu Kolam Susu di tengah-tengah para nelayan itu, kecuali kepingin ditimpuk batu.

-------------

(sumber gambar : en.wikipedia.org)

Monday, November 16, 2009

Halmahera #1 - Prelude

Apakah yang dicari ?
Semua takkan berhenti, berdiri
Kita bukan lebih baik, lebih dari hari ini
Dan katakan saja
Kita masih lupa
Masih tinggi di angkasa
Langit tak biru cerah
Tersesat di ketinggian
Apalah yang terhebat ?
Sadar saat pulang
Sadar saat berpulang ..


Entah, jalan mana yang kan ditempuh
Persimpangan menjadi pintu
Menuju pengulangan waktu
Bagaimana, jika tanpa arah petunjuk ?
Tak mungkin berakhir yang dicari
Teraih di sini ...

Guncangan keras seketika menyeretku keluar dari alam mimpi. Kenapa semuanya bergoyang ? Di mana aku sekarang ? Tak perlu menunggu lama untuk mendapat jawabannya. Semburan air asin dari celah-celah jendela kaca itu tepat membasahi mataku yang masih didera kantuk luar biasa. Rasa pedih di kelopak mata yang diakibatkannya terbukti efektif, karena setelah itu aku langsung ingat di mana aku berada sekarang.

Samudera Pasifik … lautan terluas di planet ini.

“Bos !! Kita sudah hampir sampai !!”, teriakan La Saharuddin terdengar sayup di antara gemuruh yang terus mendera. Gadis Mujur 02, kapal berbobot mati 57 GT itu oleng, naik turun dilamun ombak setinggi dua meter. Suara kayu kapal berdecit-decit, seolah ingin lepas dari paku-paku yang merekatkannya.  Aku bangkit dari dipan di belakang kemudi, dan langsung meraih GPS Garmin yang tergeletak di sebelah kompas tua kapal tersebut.

Kubaca dengan seksama angka-angka yang tertulis di layar : 2°00’42.6’’ N, 130°12’36’’ E. Pandangan pun beralih pada jam tangan digital yang di pergelangan tangan kiriku, hari ini, kamis, 27 November 2008, tepat pukul 00.30 LT.

“Di sini posisinya … pak, kita berhenti di sini”, kataku pada kapten kapal berumur 40-an tersebut. Dengan cekatan, La Saharuddin mendorong naik dua tuas yang berada di samping kemudinya, dan kapalpun berhenti bergerak. Berhenti bergerak maju, lebih tepatnya, karena justru setelah kapal berhenti melaju, guncangan ombak-ombak laknat itu semakin menggila. Aku berjalan sempoyongan keluar menuju haluan kapal, diikuti si kapten dan beberapa orang ABK.

Gelap. Tak tampak apapun di depan kapal. Tentu saja. Ini masih jam setengah satu malam. Yang ada hanya Drizzle, hujan yang malu-malu turun dari langit, ditemani angin dengan kecepatan kurang lebih 10 knot.

“Nyalakan lampu, woiiii … !!”, teriak La Saharuddin pada gerombolan ABK yang masih berdiri mematung di belakangnya. Diteriaki demikian, mereka langsung tunggang langgang masuk kembali ke badan kapal, persis seperti banci yang dikejar-kejar tramtib. Tak sampai sepuluh detik, mereka muncul kembali dengan sebuah lampu sorot besar dan gulungan kabel panjang di tangan. Tidak lama kemudian, lampu sorot itu menyala. Cahaya terangnya menyapu-nyapu muka laut yang gelap bergelora. Tidak ada apa pun. Yang ada hanya air dan ombak. Itu saja.

“Pak, tolong jalankan lagi kapal … kita berputar-putar sebentar di sini”, pintaku yang sudah mulai mabuk laut pada pak kapten. Ia tak menjawab dan langsung kembali masuk ke ruang kemudi. Tidak lama setelah itu kapal pun kembali melaju, berjalan pelan, berputar-putar di tengah terjangan ombak.

Sudah hampir setengah jam kami berputar-putar, tapi tidak ada apa pun. Para ABK yang ngantuk dan kedinginan mulai menggerutu dan aku mulai merasa cemas. Aku sudah jauh-jauh sampai ke sini dan aku tidak terima kalau harus pulang dengan tangan hampa. Teriakan La Saharuddin kembali menyadarkanku dari lamunan.

“Bos, bagaimana ?! Kita nda’ bisa lama-lama di sini ! Kalau ombaknya terus begini, kapalnya bisa terbalik !!”

Gawat. Sekarang bukan cuma ngantuk, cemas dan mabuk laut. Pusing dan panik mulai ikut menambah beban dalam kepala. Rasanya seperti dibantai dosen penguji waktu sidang sarjana saja, dan aku bingung mau menjawab apa.

“Bos .. ? Gimana ?!”, sang kapten yang orang Buton asli kembali bertanya, dan para ABK memandangku penuh harap.

Aku menarik nafas panjang, memandang sebentar ke hamparan gelap lautan, lalu memalingkan muka.

“OK. Kita mundur …”, jawabku malas. Lalu kulihat senyum-senyum mengembang dari wajah para ABK itu. Senyum yang menjengkelkan, kataku membatin. Kapal pun kembali bergerak, berbalik arah. Aku yang sudah nyaris putus asa terus memandang lautan hitam di sekeliling kapal, mengharapkan keajaiban yang ada. Tapi semua sia-sia.

Sialan ! Ke mana perginya pelampung itu ? Gelap begini ! Ke mana lagi aku harus mencari ?

Tuesday, November 10, 2009

Scream !!

Sorry blog-ku sayang, aku cuma mau nulis ini :

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH !!!!!!!

Ok. Selesai. Case Closed.

Sunday, November 8, 2009

Diet #9 - Challenge and PES 6

PES 6, kependekan dari Pro Evolution Soccer 6, demikian nama game sepak bola yang merupakan produk dari salah satu perusahaan pembuat game nomor wahid di Jepang. Dan dari sinilah ceritaku kali ini dimulai.

Aku sudah tergila-gila dengan si PES 6 ini sejak awal kemunculannya. Hari-hari tak lengkap rasanya kalau mata ini tidak memandang pemain-pemain bola bohongan itu beraksi di monitor PC. Banyak prestasi yang sudah kudapat dari bermain PES 6 ini, antara lain : dimarahin bos karena kerjaan yang nggak beres-beres, kuliah amburadul dan tentu saja insomnia berkepanjangan. Boleh percaya boleh tidak, pada suatu ketika, aku pernah memainkan si PES 6 mulai dari matahari terbenam hingga fajar menyingsing, hanya untuk menyelesaikan Master League yang menjadi salah satu daya tarik utama game ini. Ketukan (baca : kutukan) teman-teman kos atau bahkan ibu kos yang ingin menagih uang sewa bulanan tidak pernah kugubris bila pada saat yang bersamaan kedua mataku berkonsentrasi penuh pada pertandingan di layar monitor.

Satu-satunya kejadian yang membuatku rela beranjak meninggalkan permainan ini adalah pada saat malam di mana yang terhormat bapak Fauzi Bowo dipastikan terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta yang ke-13. Waktu itu, aku sedang memaki-maki si wasit bohongan di layar monitor karena memberi hadiah pinalti kepada pemain lawan yang diving di area 16 meter, ketika dalam hitungan detik, lantai bergoyang, bumi berguncang, dan akupun lari tunggang langgang meninggalkan kamar kost. Ya, hanya kejadian gempa itulah yang membuatku merelakan kemenangan di depan mata dirampok oleh wasit dalam game bernama PES 6. Selebihnya tidak.

Kecanduan yang makin lama makin parah dan cenderung mengarah menjadi kegilaan. Aku jadi anti-sosial, sepulang kerja hanya mengurung diri di kamar, memaki-maki pemain lawan atau wasit yang tidak pernah ada di dunia nyata. Tak ada teman, hanya 15 tusuk sate, 3 lontong dan 1 botol Coca Cola ukuran satu liter yang menjadi saksi bisu sumpah serapahku setiap malam. Bangun kesiangan, pekerjaan yang tak kunjung selesai dan tumpukan lemak yang semakin bertambah sudah menjadi bagian hari-hariku pada saat itu.

Sudah lewat setengah tahun sejak saat itu ...

Tak ada lagi sate, lontong atau Coca Cola bergelimpangan di kamar setiap malam. Yang ada sekarang hanya sepiring buah-buahan. Lemak-lemak itupun mulai beranjak hilang. Tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah.

PES 6.

Ya, game bernama Pro Evolution Soccer 6 itu masih tetap menguasai layar monitor PC ku hampir setiap malam. Kubilang 'hampir', karena sejak mendapat 'hidayah' bulan juni lalu, aku sukses mengurangi frekuensi main game ini lebih dari setengahnya. Kalau sebelumnya minimal 6 jam bisa habis hanya untuk memelototi layar monitor, sekarang paling lama hanya 2 jam aku bisa tahan, itupun tidak setiap malam. Tapi pada dasarnya, kecanduanku pada game ini tak pernah luntur sedikitpun.

Jadi, apa sebenarnya yang menjadi penyebab kecanduan itu ? Kenapa hanya game itu bukan game lain ? Dan apa hubungannya dengan dietku sekarang ?

Dulu, sempat terpikir kalau aku ini mengidap penyakit gila game atau yang dalam istilah bekennya disebut Video Game Addiction, sampai-sampai pernah ada niat berkunjung ke psikiater untuk konsultasi kejiwaan. Toh, ternyata aku normal-normal saja, karena sebelum niat itu terlaksana, aku masih bisa menahan diri untuk tidak terlalu sering memainkan si game bola. So what's the matter with me ?

Setelah pengamatan berbulan-bulan, sepertinya aku sudah menemukan jawabannya. Sangat simple.

CHALLENGE.

Bila diperhatikan, PES 6 jelas kalah jauh dengan game-game bola terbaru saat ini, seperti FIFA 2010 keluaran EA Sports atau bahkan PES 2010 yang merupakan saudara muda PES 6 sendiri. Mulai dari sisi grafis, suara, sampai gameplay, PES 6 sudah tidak ada apa-apanya. Tapi ada satu hal yang tidak kutemukan di game-game bola termutakhir itu. Ya, CHALLENGE itu tadi.

Para maniak PES 6 yang sering bermain dalam tingkat kesulitan 'Very Hard' pasti sudah mengerti hal ini. Bermain dalam level 'very hard' benar-benar menguji kematangan emosi seseorang. Bukan hanya karena pemain yang dikendalikan komputer akan bermain dalam tingkat algoritma tertinggi yang diprogramkan kepadanya, tapi juga karena segala faktor non-teknis, mulai dari cuaca, bola sampai kepemimpinan wasit akan berkonspirasi untuk mengalahkan anda.

Secara umum, aku sudah hapal mati taktik yang biasa dipakai si komputer. Pada saat menyerang, tim komputer akan menggunakan taktik Total Football, yang dipopulerkan oleh timnas Belanda pada tahun 70an, ditambah serangan balik cepat. Sementara pada saat bertahan komputer akan menggunakan taktik Catenaccio andalan timnas Italia dengan menumpuk pemain bertahan di depan gawang. Taktik yang luar biasa. Pada level tersulit ini, statistik tiap pemain sudah tidak bisa diandalkan lagi untuk menghadapi tim lawan. Pemain yang punya skill point 99 di bisa saja tak berkutik oleh pemain komputer dengan skill point 80-an. Di sinilah letak ketidakadilan dan konspirasi tadi.

Tidak jarang hanya dengan sedikit senggolan, bola bisa berpindah kaki ke pemain lawan. Mengejar dan merebut bola dari pemain lawan sama saja susahnya, terkadang tiga pemain raksasa yang larinya paling cepat sekalipun tidak akan mampu merebut bola dari satu pemain kuntet yang cuma punya speed dan body balance 80. Kecurangan makin menjadi-jadi karena si wasit yang 99% lebih memihak komputer, tak peduli di kandang mana ia memimpin pertandingan, dan tidak jarang merogoh kartu dari sakunya hanya untuk pelanggaran remeh yang dilakukan pada si pemain komputer. Lebih dari itu, sering sekali terjadi keajaiban yang terjadi di lapangan. Misalnya saja, serangan kita yang selalu digagalkan tiang gawang, bola buangan pemain komputer yang entah bagaimana caranya bisa selalu tepat mengarah ke pemain depannya, penjaga gawang si komputer yang seolah punya lem di tangan dan indera keenam dan hal-hal tak logis lainnya. Hal ini tidak pernah terjadi pada game-game bola terbaru dengan alasan realitas yang selalu didengungkan oleh perusahaan-perusahaan pembuat game tersebut.

Orang yang masih bisa berpikir jernih mungkin hanya akan sekedar mengumpat bila mengalami berbagai kecurangan tersebut. Tapi aku bisa menjamin, kalau orang stress yang bermain PES 6 dalam kondisi seperti itu, minimal keyboard atau monitor PCnya tidak akan selamat dari amukan. Contohnya adalah salah satu keyboardku di kamar kost.

Tapi ada satu kenikmatan yang aneh, setiap kali aku bisa mengalahkan si komputer tersebut. Ada rasa puas yang luar biasa yang terasa pada saat aku membantai tim yang selalu mencurangiku tersebut. Tidak jarang aku berteriak histeris sewaktu sukses memperdaya kiper lawan di masa injury time, ketika timku tertinggal dari tim komputer. Perasaan nikmat yang sama dengan yang kurasakan ketika aku menjadi juara kelas semasa SD sampai SMP, diterima di salah satu sekolah teknik terbaik di sulsel, lolos UMPTN dan tentu saja, rasa puas yang kurasa semenjak lemak-lemak di tubuh ini semakin terkikis seiring dengan berjalannya waktu.

---------

 

Dulu kalau tidak salah, aku pernah menulis bahwa salah satu kenikmatan terbesar yang dirasakan oleh orang diet adalah pada saat orang lain di sekitarnya memuji dan mengakui keberhasilannya dalam mengusir timbunan lemak yang ada di tubuh orang tersebut.

"Wah ... kamu kurusan ya sekarang..", atau "Ouw .. dietnya sukses nih !", dan kata-kata pujian lainnya yang bisa membuat si pasien diet terbang ke langit ketujuh di siang hari bolong. Semua sudah kualami. Semua sudah kurasakan. Dan apa komentar yang paling sering kudengar sekarang ?

"Wah hebat ... bodi lu bagus ya sekarang, salut gw!", kata salah satu seorang teman. Teman cewek yang lain memberi komentar, "Dhi, ternyata lu ganteng ya kalo langsing ..". Komentar yang sudah 20 tahun lebih tidak kudengar lagi karena aku mulai gendut sejak kelas 4 SD. Sejak kelas 4 itulah, nama panggilan yang dianugerahkan orang tua dan guru kepadaku seolah tidak pernah digubris oleh teman-teman di sekitarku. Sebagai gantinya, mereka memanggilku dengan nama-nama baru yang sering bikin kuping panas seperti gendut, gembrot, battala, commo, endut dan sinonim-sinonimnya. Jadi, bisa dibayangkan betapa puas dan senangnya hatiku dengan pengakuan-pengakuan dan komentar terbaru dalam sebulan terakhir.

Tapi ... demi Allah, dari hari ke hari, komentar-komentar itu semakin gampang terdengar di telingaku. Sekarang, bukan hanya teman di kantor, tapi teman kos, ibu kos, ABG penjaga warung kelontong, penjual sate, tukang sol sepatu sampai anak penjual ikan juga ikutan ngasih komen. Parahnya lagi, mbak-mbak penjual warteg di seberang kali Ciliwung itupun sekarang sudah mulai berani lirik-lirik setiap kali aku memborong sayuran di warungnya.

Bukannya bermaksud sombong dan munafik, tapi terus terang aku mulai jenuh dengan komen-komen itu. Sekarang cuma bisa senyum kecut campur malu tiap kali dengar kata-kata mutiara di atas. Saking jenuhnya, sampai sempat terlintas pikiran : APAKAH AKU BERHENTI DIET SAJA YA SEKARANG ?? TOH UDAH KURUSAN ....

Beberapa teman memang menyarankan demikian. Konon karena tulang dan kepalaku besar, kalo terlalu kurus nggak enak dilihat. Nggak proporsional katanya. Dan aku sempat setuju. Sekali lagi, hanya sempat setuju. Dan karena itulah, aku sempat mengurangi diet, mulai banyak makan nasi dan makanan tinggi kalori lainnya. Diet Santai katanya.

Tapi apa yang kurasakan kemudian ? Hampa. Tak bergairah. Hanya seperti itukah ? Haruskah kuhentikan semua kerja keras ini ? Jalan kaki bersimbah peluh sejauh 3 km setiap malam, menyusuri jalan sultan Sjahrir yang sunyi angker sambil membawa tas dengan bobot setara anak umur 5 tahun di punggung, digonggongi anjing great dane di rumah no.21 itu, menghentikan ini semua hanya karena masalah penampilan ?

Sekarang aku mulai mengerti dari mana datang rasa puas yang selalu kurasakan setiap kali bermain PES 6. Tantangan. Hidup ini tidak akan pernah terasa nikmat tanpa ada yang namanya tantangan. Bermain game dan diet adalah dua hal yang berbeda, tapi memiliki tujuan dengan substansi yang sama yang disebut kemenangan. Dan ketika tantangan itu hilang, hidup akan terasa lebih hambar, sepi dan kurang bermakna.

"Kalau kamu masih gendut seperti ini sampai umur 30 puluh, umurmu tak akan panjang".

Masih terngiang jelas kata-kata itu di telingaku ketika duduk dalam kereta Pakuan Express Bogor-Jakarta, di suatu senja bulan Juni yang lalu. 75-77 kilogram, ukuran normal menurut BMI (Body Mass Index). Bukankah itu tujuanku yang sebenarnya ? Saat ini aku masih dalam kategori overweight, dan sudah jelas, tujuan akhirku masih belum tercapai. Bodoh sekali kalau aku berpikir untuk mengakhiri diet hanya karena komentar "Ganteng" atau "Langsing" itu.

Tantangan itu masih belum usai, inilah ujian terbesar selama aku diet dan aku masih menanti rasa puas yang ingin kurasakan setelah target 75 kilogram itu tercapai. Rasa puas yang sama ketika aku membantai tim-tim brengsek dalam game PES 6.

Berat badan terakhir : 86.5 kg