Thursday, November 19, 2009

Halmahera #2 - The Ring of Fire


"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman ..."

Demikian sepotong lirik lagu Kolam Susu karya Koes Plus yang melegenda. Banyak orang yang setuju dengan ungkapan syairnya. Aku sendiri hanya 50% sepaham dengan orang-orang konservatif itu. Malangnya, setelah kuliah di Jurusan Geofisika dan Meteorologi, nilai kesepahaman itu anjlok lagi menjadi 25%. Andaikan waktu itu Koes Plus mengerti ilmu Geofisika, mereka pasti akan berpikir ulang menjuluki negeri kita, Republik Indonesia yang tercinta ini, dengan sebutan 'Tanah Surga'.

Kenyataannya, kepulauan Indonesia berada tepat di pertemuan 3 lempeng tektonik utama di dunia : Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia. Lempeng-lempeng ini terus bergerak, menekan, menyusup ke dalam mantel bumi di bawah lempeng tektonik lainnya. Subduction, itu istilah kerennya. Konon, pergerakan dari proses ini hanya sekitar puluhan milimeter setiap tahun. Tapi angka puluhan mili ini bisa menjadi masalah besar, karena bila dilihat dari skalanya, ukuran lempeng tektonik jelas bukan tandingan manusia. Gaya yang ditimbulkan dari friksi antar lempeng inilah yang jadi bencana yang biasa disebut dengan Gempa Bumi.

Jadi bisa dibayangkan, betapa strategisnya posisi negara ini dengan berada tepat di atas pertemuan 3 lempeng tektonik utama tadi. Dan atas 'prestasi' tersebut, Indonesia berhak menyandang titel The Ring of Fire area, alias salah satu wilayah yang memiliki aktivitas vulkanik dan gempa bumi terbanyak di dunia.

Setahuku sampai saat ini, belum ada satu orang pun yang bisa meramalkan kapan dan di mana gempa bumi terjadi, kecuali seorang perempuan bernama Laurentia Pasaribu, yang oleh kalangan penggosip, dikenal dengan nama Mama Laurent, tentu saja karena ramalannya yang lebih sering meleset dari kenyataan. Sisanya, hanya manusia-manusia tak berguna yang gemar menyebar hoax gempa lewat SMS, Twitter, Facebook dan situs-situs jejaring sosial lainnya.

Namun kalau dipikir lagi, para penyebar hoax tersebut masih jauh lebih baik dibandingkan dengan nelayan-nelayan dari salah satu negara tetangga di utara Indonesia, yang luasnya hanya sekitar 300 ribu kilometer persegi, bernama lengkap Republika ng Pilipinas alias Filipina. Sudah lama sekali nelayan-nelayan Filipina ini -terutama yang berdomisili di selatan pulau Mindanao- menjadi musuh bebuyutan para peneliti, terutama di bidang Oceanography dan Marine Geology.

Apa pasal ? Nelayan-nelayan Mindanao punya reputasi mentereng yang disegani para ilmuwan : Vandalisme. Jangankan ikan atau biota laut lainnya, benda-benda mati, yang seharusnya tidak layak masuk ke perut pun akan mereka sikat. Mulai dari Tsunami Buoy bernilai miliaran rupiah sampai pelampung yang tidak laku dijual di pasar loak pun akan diembat. Tidak heran, banyak peneliti, baik itu peneliti lokal maupun asing,  akan geram dan menitikkan air mata kecewa begitu mengetahui instrumennya yang baru terpasang (di-deploy) di daerah kekuasaan laut para nelayan ini, raib atau rusak, hanya dalam hitungan hari.

Semboyan nasional Filipina :  Maka-Diyos, Maka-Tao, Makakalikasan, at Makabansa (Untuk Tuhan, Rakyat, Alam dan Negara) tak digubris sama sekali. Padahal, maksud pemasangan instrumen-instrumen ini sudah jelas, untuk kebaikan tiap umat manusia yang hidup di daerah perbatasan Indonesia-Filipina, termasuk nelayan-nelayan yang tak tahu diuntung tersebut. Sepertinya para pencari ikan itu tidak tahu kalau perairan di antara Halmahera dan Mindanao merupakan salah satu titik paling vital dari Ring of Fire, pertemuan 3 lempeng utama yang sudah dijelaskan di atas tadi, yang artinya, gempa bumi bawah laut di daerah ini berpotensi menimbulkan Tsunami yang bisa jadi lebih mengerikan dibandingkan Tsunami Aceh tahun 2004 silam.


Saking jengkelnya, salah seorang rekan peneliti pernah menyarankan agar bagian luar instrumen-instrumen yang terpasang di daerah ini dialiri dengan listrik ratusan volt, maksudnya agar para vandal berkedok nelayan tadi kapok. Sayangnya, usul tadi ditolak mentah-mentah, konon selain karena mahal biayanya, menyetrum nelayan yang mencari nafkah di laut belum pernah ada sejarahnya dan sangat bertentangan dengan hak asasi manusia.

Tapi kalau bicara soal musuh-memusuhi,  seteru abadi para nelayan Mindanao ini tidak lain dan tidak bukan, adalah nelayan Indonesia, terutama yang tinggal di daerah pesisir Sulawesi Utara dan Halmahera Utara. Asal muasal persengketaan yang sudah terjadi bertahun-tahun ini sudah jelas, rebutan ikan, tidak peduli itu ikan paus, ikan hiu atau cuma ikan teri. Ironisnya, nelayan Indonesia umumnya berada pada pihak yang kalah. Selain karena pemerintah Indonesia terlalu sibuk dengan masalah TKI ilegal, penyiksaan TKI atau kasus artis sinetron dadakan bernama Manohara Odelia Pinot,  nelayan-nelayan Filipina ini biasanya dibekali dengan persenjataan lengkap layaknya perompak Somalia. Konon, nelayan Indonesia akan langsung ciut nyalinya begitu mengenali kapal penangkap ikan Filipina dalam jarak 5 mil laut, dan umumnya setelah itu, nelayan-nelayan kita akan menyingkir, membiarkan daerahnya yang sebenarnya masih dalam wilayah negara kesatuan RI itu dijajah oleh nelayan-nelayan tengik dari negara tetangga.

"Lebih baik pulang makan ikan busuk hasil tangkapan daripada membusuk dimangsa ikan di laut akibat ditembaki nelayan Filipina ..", demikian pengakuan seorang nelayan yang kukenal di Bere-bere, Morotai, pulau di utara Halmahera yang juga merupakan salah satu pulau paling utara di republik ini. Seperti itulah gambaran kerasnya kehidupan para nelayan kita yang ada di daerah perbatasan.

Kesimpulan sementara yang bisa kutarik, jangan coba-coba menyanyikan lagu Kolam Susu di tengah-tengah para nelayan itu, kecuali kepingin ditimpuk batu.

-------------

(sumber gambar : en.wikipedia.org)

No comments:

Post a Comment