Monday, November 16, 2009

Halmahera #1 - Prelude

Apakah yang dicari ?
Semua takkan berhenti, berdiri
Kita bukan lebih baik, lebih dari hari ini
Dan katakan saja
Kita masih lupa
Masih tinggi di angkasa
Langit tak biru cerah
Tersesat di ketinggian
Apalah yang terhebat ?
Sadar saat pulang
Sadar saat berpulang ..


Entah, jalan mana yang kan ditempuh
Persimpangan menjadi pintu
Menuju pengulangan waktu
Bagaimana, jika tanpa arah petunjuk ?
Tak mungkin berakhir yang dicari
Teraih di sini ...

Guncangan keras seketika menyeretku keluar dari alam mimpi. Kenapa semuanya bergoyang ? Di mana aku sekarang ? Tak perlu menunggu lama untuk mendapat jawabannya. Semburan air asin dari celah-celah jendela kaca itu tepat membasahi mataku yang masih didera kantuk luar biasa. Rasa pedih di kelopak mata yang diakibatkannya terbukti efektif, karena setelah itu aku langsung ingat di mana aku berada sekarang.

Samudera Pasifik … lautan terluas di planet ini.

“Bos !! Kita sudah hampir sampai !!”, teriakan La Saharuddin terdengar sayup di antara gemuruh yang terus mendera. Gadis Mujur 02, kapal berbobot mati 57 GT itu oleng, naik turun dilamun ombak setinggi dua meter. Suara kayu kapal berdecit-decit, seolah ingin lepas dari paku-paku yang merekatkannya.  Aku bangkit dari dipan di belakang kemudi, dan langsung meraih GPS Garmin yang tergeletak di sebelah kompas tua kapal tersebut.

Kubaca dengan seksama angka-angka yang tertulis di layar : 2°00’42.6’’ N, 130°12’36’’ E. Pandangan pun beralih pada jam tangan digital yang di pergelangan tangan kiriku, hari ini, kamis, 27 November 2008, tepat pukul 00.30 LT.

“Di sini posisinya … pak, kita berhenti di sini”, kataku pada kapten kapal berumur 40-an tersebut. Dengan cekatan, La Saharuddin mendorong naik dua tuas yang berada di samping kemudinya, dan kapalpun berhenti bergerak. Berhenti bergerak maju, lebih tepatnya, karena justru setelah kapal berhenti melaju, guncangan ombak-ombak laknat itu semakin menggila. Aku berjalan sempoyongan keluar menuju haluan kapal, diikuti si kapten dan beberapa orang ABK.

Gelap. Tak tampak apapun di depan kapal. Tentu saja. Ini masih jam setengah satu malam. Yang ada hanya Drizzle, hujan yang malu-malu turun dari langit, ditemani angin dengan kecepatan kurang lebih 10 knot.

“Nyalakan lampu, woiiii … !!”, teriak La Saharuddin pada gerombolan ABK yang masih berdiri mematung di belakangnya. Diteriaki demikian, mereka langsung tunggang langgang masuk kembali ke badan kapal, persis seperti banci yang dikejar-kejar tramtib. Tak sampai sepuluh detik, mereka muncul kembali dengan sebuah lampu sorot besar dan gulungan kabel panjang di tangan. Tidak lama kemudian, lampu sorot itu menyala. Cahaya terangnya menyapu-nyapu muka laut yang gelap bergelora. Tidak ada apa pun. Yang ada hanya air dan ombak. Itu saja.

“Pak, tolong jalankan lagi kapal … kita berputar-putar sebentar di sini”, pintaku yang sudah mulai mabuk laut pada pak kapten. Ia tak menjawab dan langsung kembali masuk ke ruang kemudi. Tidak lama setelah itu kapal pun kembali melaju, berjalan pelan, berputar-putar di tengah terjangan ombak.

Sudah hampir setengah jam kami berputar-putar, tapi tidak ada apa pun. Para ABK yang ngantuk dan kedinginan mulai menggerutu dan aku mulai merasa cemas. Aku sudah jauh-jauh sampai ke sini dan aku tidak terima kalau harus pulang dengan tangan hampa. Teriakan La Saharuddin kembali menyadarkanku dari lamunan.

“Bos, bagaimana ?! Kita nda’ bisa lama-lama di sini ! Kalau ombaknya terus begini, kapalnya bisa terbalik !!”

Gawat. Sekarang bukan cuma ngantuk, cemas dan mabuk laut. Pusing dan panik mulai ikut menambah beban dalam kepala. Rasanya seperti dibantai dosen penguji waktu sidang sarjana saja, dan aku bingung mau menjawab apa.

“Bos .. ? Gimana ?!”, sang kapten yang orang Buton asli kembali bertanya, dan para ABK memandangku penuh harap.

Aku menarik nafas panjang, memandang sebentar ke hamparan gelap lautan, lalu memalingkan muka.

“OK. Kita mundur …”, jawabku malas. Lalu kulihat senyum-senyum mengembang dari wajah para ABK itu. Senyum yang menjengkelkan, kataku membatin. Kapal pun kembali bergerak, berbalik arah. Aku yang sudah nyaris putus asa terus memandang lautan hitam di sekeliling kapal, mengharapkan keajaiban yang ada. Tapi semua sia-sia.

Sialan ! Ke mana perginya pelampung itu ? Gelap begini ! Ke mana lagi aku harus mencari ?

No comments:

Post a Comment