Ujian tertulis adalah tahap kedua dari seleksi beasiswa Monbusho setelah seleksi dokumen. Jumlah peserta yang berhak ikut ujian ini kurang lebih 100 orang, yang disaring dari sekian ratus (atau mungkin sekian ribu) calon peserta yang mendaftar beasiswa. Untuk program research student, materi yang diujikan adalah bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Masing-masing dalam waktu 1 dan 2 jam, yang dilakukan serentak di lima lokasi: Jakarta, Medan, Surabaya, Denpasar dan Makassar. Karena mendaftar di Jakarta, lokasi ujian saya ada di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, dan sebagai alumni UI, lokasi ujiannya sudah tidak asing lagi buat saya.
Seperti yang sudah disarankan oleh para 'alumni' peraih Monbusho, saya segera mengunduh soal-soal ujian tahun sebelumnya yang banyak bertebaran di internet, termasuk di website kedubes Jepang. Kalau diperhatikan pola soal ujiannya, test Bahasa Inggrisnya tidak jauh berbeda dengan test TOEFL PBT (Paper-based) atau ITP. Untuk Bahasa Inggris, kayaknya nggak ada masalah. Setelah berlatih, rata-rata skor saya di atas 75 dalam skala 100.
Seperti yang sudah disarankan oleh para 'alumni' peraih Monbusho, saya segera mengunduh soal-soal ujian tahun sebelumnya yang banyak bertebaran di internet, termasuk di website kedubes Jepang. Kalau diperhatikan pola soal ujiannya, test Bahasa Inggrisnya tidak jauh berbeda dengan test TOEFL PBT (Paper-based) atau ITP. Untuk Bahasa Inggris, kayaknya nggak ada masalah. Setelah berlatih, rata-rata skor saya di atas 75 dalam skala 100.
Untuk Bahasa Jepang ? Entahlah. Kalau nggak salah, soal test Bahasa Jepang terbagi dalam 3 bagian, dasar, menengah dan tingkat lanjut. Saya cuma bisanya baca hiragana dan katakana. Itupun sedikit-sedikit. Untuk kanji saya sudah angkat tangan. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari berbagai sumber, nilai yang tertinggilah yang akan dipertimbangkan dalam seleksi. Jadi kalau nilai test Bahasa Inggris lebih tinggi, maka nilai itu yang akan dipertimbangkan. Dengan demikian, peserta tidak harus mahir Bahasa Jepang untuk bisa lulus seleksi tertulis. Tentunya, kalau Bahasa Jepangnya bagus, akan jadi keuntungan untuk menambah peluang lulus.
----------
Tanggal 15 Juni 2015, hari ujian, dua hari sebelum puasa Ramadhan.
Saya datang ke lokasi ujian di UI dengan persiapan 100% untuk test Bahasa Inggris, dan 1% untuk test Bahasa Jepang. Strateginya jelas. Daripada menghabiskan waktu dan pikiran di tes Bahasa Jepang yang hasilnya belum tentu bagus, lebih baik saya fokus dan habis-habisan di tes Bahasa Inggris yang sudah yakin bisa saya kerjakan.
Saya datang ke lokasi ujian di UI dengan persiapan 100% untuk test Bahasa Inggris, dan 1% untuk test Bahasa Jepang. Strateginya jelas. Daripada menghabiskan waktu dan pikiran di tes Bahasa Jepang yang hasilnya belum tentu bagus, lebih baik saya fokus dan habis-habisan di tes Bahasa Inggris yang sudah yakin bisa saya kerjakan.
Saya datang 1 jam lebih cepat dari waktu ujian. Belum banyak orang di lokasi, jadi saya santai aja. 30 menit sebelum ujian, peserta mulai banyak berdatangan. Tampangnya serius semua, seperti samurai mau menuju medan perang. Salah satu peserta terlihat asyik membaca sebuah buku yang penuh tulisan Jepang dengan huruf "N2" warna orange di sampulnya. Bukunya sedikit diangkat supaya kelihatan, seolah ingin mengirimkan pesan ke peserta yang lain, kalau sang pemilik sudah mahir berbahasa Jepang. Andaikan waktu itu nggak ingat strategi untuk fokus di tes Bahasa Inggris, mungkin saya bakal ngelirik lagi buku "Belajar Mudah Bahasa Jepang" yang terselip dalam tas.
Lima belas menit sebelum pukul 10. Tiga gadis cantik tiba di depan auditorium. Dari penampilannya, kelihatannya ini staf kedubes Jepang yang akan jadi pengawas ujian. Benar saja, kami diminta antri di depan pintu dan menyiapkan tanda pengenal. Tiap peserta diminta memperlihatkan KTP dan menyebutkan nomor ujian, sebelum masuk ke auditorium.
Ruang ujiannya lumayan luas, mirip dengan ruang kelas di TVST/Oktagon ITB. Pengawas mengatur jarak masing-masing 1 kursi antar peserta. Saya mengambil posisi di deretan ketiga dari depan. Setelah semua peserta masuk, pengawas mulai menjelaskan tata tertib ujian. Peserta yang ingin ke toilet dipersilakan segera membereskan hajatnya, karena tidak ada yang boleh meninggalkan ruangan ketika ujian berlangsung dengan alasan apapun. Selain itu, jaket dan rompi diminta dibuka, tas diminta diletakkan di bawah kursi. Yang boleh ada di atas meja hanyalah alat tulis. Satu lagi, peserta diminta untuk mematikan ponsel dan alarm dalam bentuk apapun, termasuk alarm jam tangan. Apabila terdengar suara dari ponsel atau alarm ketika ujian, maka ujian akan langsung dihentikan. Selesai atau nggak selesai harus dikumpul. Aturan yang sangat menakutkan tapi efektif.
Soal dan lembar jawaban mulai dibagikan, dan tepat pukul 10 WIB, ujian dimulai serentak di seluruh Indonesia. Sesuai dugaan saya, soal Bahasa Inggrisnya polanya sama persis dengan ujian tahun-tahun sebelumnya. Karena sudah banyak latihan, saya bisa melalui test ini dengan relatif mudah. Satu jam kemudian, ujian selesai dan langsung disambung dengan test Bahasa Jepang. Kali ini, saya cuma nulis nama doang di lembar jawaban, liat-liat soalnya, terus bengong, soalnya nggak bisa ngerjain satupun. Ya sebenarnya ada lima soal tingkat dasar yang saya kerjakan, tapi itu juga ga tau benar atau salah. Selebihnya saya cuma bisa nunggu sampai waktu ujian selesai.
Dua jam pun terasa sangat lama, terlebih lagi AC dalam ruangan yang kelewat dingin. Pengawas ujian beberapa kali menyampaikan kalau AC-nya memang nggak bisa diatur karena AC sentral. Orang yang punya riwayat flu musiman atau yang lagi mules dijamin bakal
tersiksa menahan hawa dingin selama dua jam di ruangan ini.
Setelah dua jam yang membosankan (karena saya nggak bisa ngapa-ngapain), akhirnya ujian selesai. Sebelum lembar jawaban dikumpulkan, pengawas mewanti-wanti peserta ujian agar tidak mem-posting soal ujian hari itu ke media sosial, termasuk blog. Kalau sampai ketahuan, langsung nggak lulus !
Keluar dari ruangan ujian, saya bisa sedikit bernafas lega karena strategi fokus ke test Bahasa Inggris berjalan lancar. Sebenarnya, ada sedikit kekhawatiran karena saya ga bisa ngerjain tes Bahasa Jepang. Tapi ini yang terbaik, dari pada setengah-setengah. Sebelum pulang, saya sempatkan dulu jalan-jalan dulu ke FT UI, makan siang sekalian nostalgia di Kantek (Kantin Teknik). Ternyata Kantek sudah banyak berubah sejak terakhir saya kuliah di FT, jauh lebih rapi dan cozy dari pada sebelumnya. Saya pun pesan menu favorit zaman kuliah dulu, nasi goreng + kentang bego, sambil ngeliat-liat pemandangan di sisi danau Mahoni.
Alhamdulillah ... ujian tertulis selesai.
---------------
Jumat, 19 Juni 2015.
Karena sedang puasa Ramadhan, saya langsung kembali ke kantor selepas sholat Jumat. Iseng saya browsing ke website kedubes Jepang, ternyata hasil ujian tertulis sudah diumumkan ! Pelan-pelan saya cek nomor-nomor ujian peserta yang lulus (pengumuman kelulusannya hanya mencantumkan nomor ujian), dan ...
Alhamdulillah !! Nomor 13, nomor ujian saya ada dalam daftar nomor peserta yang lulus !! Strategi fokus ke test Bahasa Inggris sukses besar !
Pengumuman tersebut juga memberikan informasi jadwal tes wawancara untuk tiap peserta. Saya kebagian tanggal 9 Juli 2015, jam 09 pagi.
Dua rintangan sudah terlewati. Semoga ujian berikutnya juga lancar. Amiin .... :-)
No comments:
Post a Comment