Friday, April 22, 2016

Cerita Monbukagakusho #11 - The Departure (Self Note)

1 April 2016 16:30 WIB.

Taksi yang kutumpangi berjalan pelan menyusuri kemacetan di PRJ Kemayoran sore itu. Ingin rasanya mengumpat ketika melihat padatnya antrean kendaraan menuju gerbang tol ke bandara. Tak lama aku tersadar, kalau pemandangan seperti ini mungkin tak akan kulihat lagi dalam beberapa tahun ke depan. Ya, hari ini adalah hari-H ... Hari keberangkatan.

Hati rasanya terbelah. Rasa senang pastinya ada, apalagi kalau mengingat perjuangan sejak setahun sebelumnya. Tapi, di setiap keberangkatan, selalu ada perpisahan. Masih terbayang isak tangis mamah minggu lalu, sesaat sebelum aku melangkah ke luar rumah di kampung halaman, dan tentu saja, makan siang terakhir dengan istri tercinta selepas sholat jumat tadi. Masih terbayang wajahnya saat berpamitan, kupandangi terus dirinya ketika melangkah menjauh, kembali ke kantor tempatnya bekerja. Ya Allah ... aku masih ingin bertemu mereka.

Dan tentu saja, Jakarta. Ibukota Republik ini, dengan segudang masalahnya. Tapi, sejelek-jeleknya Jakarta, aku adalah bagian darinya. Sepuluh tahun lebih mengadu nasib di kota ini, menempa diri, merajut mimpi, mulai dari pengangguran, honorer, PNS sampai akhirnya menjadi MEXT awardee. Jakarta adalah salah satu mahaguru kehidupan terbaik yang pernah ada.

Di Jepang nanti, mungkin semuanya serba canggih, teratur dan disiplin. Tapi tak akan ada yang pernah bisa menggantikan Indonesia. Aku akan merindukan suasananya, orang-orangnya, hiruk-pikuknya, suara adzan-nya, dan pastinya, makanan-makanan nusantara yang paling enak sedunia.

Perlahan rasa bimbang itu muncul lagi. Sudah benarkah jalan yang kupilih? Apa yang kucari? Inikah mimpi yang ingin kuraih? Meninggalkan kemapanan yang ada, berjudi dengan nasib yang belum jelas akhirnya, jauh dari istri dan sanak saudara, di negeri asing yang ribuan kilometer jauhnya dari Indonesia.

Tiba-tiba Adzan Magrib mulai berkumandang di mana-mana. Taksi mulai bisa melaju kembali setelah memasuki tol bandara. Aku pun teringat sepenggal doa yang selalu terucap dalam hati, setiap kali selesai ujian monbusho tahun lalu.

"Ya Allah ... bila memang sudah jalan hamba untuk sekolah di Jepang, hamba mohon, mudahkanlah ..."

Ah .. dasar manusia yang tak tahu bersyukur! Sekarang semuanya sudah terkabul, jalan sudah dimudahkan oleh-Nya. Apalagi yang kini kau ragukan? Nikmat Allah yang mana lagi yang mau kau dustakan?? Bukankah hidup itu perjuangan? Bukankah ini yang sejak dulu kau impikan??

Kupandangi lagi tiket pesawat JAL 726 tujuan Narita. Entah berapa ratus orang calon mahasiswa yang harus saling sikut setiap tahun untuk mendapatkannya. Kini, semua sudah ada dalam genggaman. Jadi apa lagi yang harus ditakutkan ?

Berjuanglah habis-habisan. Hanya itu cara yang bisa dilakukan sekarang. Berhasil atau gagal, itu urusan belakangan. Jangan kecewakan orang-orang yang sudah mendoakan keberhasilanmu, termasuk para peserta yang sudah kau sisihkan dalam seleksi monbusho waktu itu.

Tak terasa, taksi telah memasuki terminal 2 keberangkatan bandara Soekarno-Hatta. Kutarik nafas panjang, turun dari taksi dan mulai melangkah masuk ke dalam bandara.

Ini baru awal, bukan akhir segalanya. Besok, insyaAllah aku akan terbangun di belahan bumi yang berbeda, tapi suatu saat nanti aku akan kembali kepadamu, Indonesia.

Man jadda wajada. Man shabara zhafira. Man saara ala darbi washala.

No comments:

Post a Comment