PES 6, kependekan dari Pro Evolution Soccer 6, demikian nama game sepak bola yang merupakan produk dari salah satu perusahaan pembuat game nomor wahid di Jepang. Dan dari sinilah ceritaku kali ini dimulai.
Aku sudah tergila-gila dengan si PES 6 ini sejak awal kemunculannya. Hari-hari tak lengkap rasanya kalau mata ini tidak memandang pemain-pemain bola bohongan itu beraksi di monitor PC. Banyak prestasi yang sudah kudapat dari bermain PES 6 ini, antara lain : dimarahin bos karena kerjaan yang nggak beres-beres, kuliah amburadul dan tentu saja insomnia berkepanjangan. Boleh percaya boleh tidak, pada suatu ketika, aku pernah memainkan si PES 6 mulai dari matahari terbenam hingga fajar menyingsing, hanya untuk menyelesaikan Master League yang menjadi salah satu daya tarik utama game ini. Ketukan (baca : kutukan) teman-teman kos atau bahkan ibu kos yang ingin menagih uang sewa bulanan tidak pernah kugubris bila pada saat yang bersamaan kedua mataku berkonsentrasi penuh pada pertandingan di layar monitor.
Satu-satunya kejadian yang membuatku rela beranjak meninggalkan permainan ini adalah pada saat malam di mana yang terhormat bapak Fauzi Bowo dipastikan terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta yang ke-13. Waktu itu, aku sedang memaki-maki si wasit bohongan di layar monitor karena memberi hadiah pinalti kepada pemain lawan yang diving di area 16 meter, ketika dalam hitungan detik, lantai bergoyang, bumi berguncang, dan akupun lari tunggang langgang meninggalkan kamar kost. Ya, hanya kejadian gempa itulah yang membuatku merelakan kemenangan di depan mata dirampok oleh wasit dalam game bernama PES 6. Selebihnya tidak.
Kecanduan yang makin lama makin parah dan cenderung mengarah menjadi kegilaan. Aku jadi anti-sosial, sepulang kerja hanya mengurung diri di kamar, memaki-maki pemain lawan atau wasit yang tidak pernah ada di dunia nyata. Tak ada teman, hanya 15 tusuk sate, 3 lontong dan 1 botol Coca Cola ukuran satu liter yang menjadi saksi bisu sumpah serapahku setiap malam. Bangun kesiangan, pekerjaan yang tak kunjung selesai dan tumpukan lemak yang semakin bertambah sudah menjadi bagian hari-hariku pada saat itu.
Sudah lewat setengah tahun sejak saat itu ...
Tak ada lagi sate, lontong atau Coca Cola bergelimpangan di kamar setiap malam. Yang ada sekarang hanya sepiring buah-buahan. Lemak-lemak itupun mulai beranjak hilang. Tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah.
PES 6.
Ya, game bernama Pro Evolution Soccer 6 itu masih tetap menguasai layar monitor PC ku hampir setiap malam. Kubilang 'hampir', karena sejak mendapat 'hidayah' bulan juni lalu, aku sukses mengurangi frekuensi main game ini lebih dari setengahnya. Kalau sebelumnya minimal 6 jam bisa habis hanya untuk memelototi layar monitor, sekarang paling lama hanya 2 jam aku bisa tahan, itupun tidak setiap malam. Tapi pada dasarnya, kecanduanku pada game ini tak pernah luntur sedikitpun.
Jadi, apa sebenarnya yang menjadi penyebab kecanduan itu ? Kenapa hanya game itu bukan game lain ? Dan apa hubungannya dengan dietku sekarang ?
Dulu, sempat terpikir kalau aku ini mengidap penyakit gila game atau yang dalam istilah bekennya disebut Video Game Addiction, sampai-sampai pernah ada niat berkunjung ke psikiater untuk konsultasi kejiwaan. Toh, ternyata aku normal-normal saja, karena sebelum niat itu terlaksana, aku masih bisa menahan diri untuk tidak terlalu sering memainkan si game bola. So what's the matter with me ?
Setelah pengamatan berbulan-bulan, sepertinya aku sudah menemukan jawabannya. Sangat simple.
CHALLENGE.
Bila diperhatikan, PES 6 jelas kalah jauh dengan game-game bola terbaru saat ini, seperti FIFA 2010 keluaran EA Sports atau bahkan PES 2010 yang merupakan saudara muda PES 6 sendiri. Mulai dari sisi grafis, suara, sampai gameplay, PES 6 sudah tidak ada apa-apanya. Tapi ada satu hal yang tidak kutemukan di game-game bola termutakhir itu. Ya, CHALLENGE itu tadi.
Para maniak PES 6 yang sering bermain dalam tingkat kesulitan 'Very Hard' pasti sudah mengerti hal ini. Bermain dalam level 'very hard' benar-benar menguji kematangan emosi seseorang. Bukan hanya karena pemain yang dikendalikan komputer akan bermain dalam tingkat algoritma tertinggi yang diprogramkan kepadanya, tapi juga karena segala faktor non-teknis, mulai dari cuaca, bola sampai kepemimpinan wasit akan berkonspirasi untuk mengalahkan anda.
Secara umum, aku sudah hapal mati taktik yang biasa dipakai si komputer. Pada saat menyerang, tim komputer akan menggunakan taktik Total Football, yang dipopulerkan oleh timnas Belanda pada tahun 70an, ditambah serangan balik cepat. Sementara pada saat bertahan komputer akan menggunakan taktik Catenaccio andalan timnas Italia dengan menumpuk pemain bertahan di depan gawang. Taktik yang luar biasa. Pada level tersulit ini, statistik tiap pemain sudah tidak bisa diandalkan lagi untuk menghadapi tim lawan. Pemain yang punya skill point 99 di bisa saja tak berkutik oleh pemain komputer dengan skill point 80-an. Di sinilah letak ketidakadilan dan konspirasi tadi.
Tidak jarang hanya dengan sedikit senggolan, bola bisa berpindah kaki ke pemain lawan. Mengejar dan merebut bola dari pemain lawan sama saja susahnya, terkadang tiga pemain raksasa yang larinya paling cepat sekalipun tidak akan mampu merebut bola dari satu pemain kuntet yang cuma punya speed dan body balance 80. Kecurangan makin menjadi-jadi karena si wasit yang 99% lebih memihak komputer, tak peduli di kandang mana ia memimpin pertandingan, dan tidak jarang merogoh kartu dari sakunya hanya untuk pelanggaran remeh yang dilakukan pada si pemain komputer. Lebih dari itu, sering sekali terjadi keajaiban yang terjadi di lapangan. Misalnya saja, serangan kita yang selalu digagalkan tiang gawang, bola buangan pemain komputer yang entah bagaimana caranya bisa selalu tepat mengarah ke pemain depannya, penjaga gawang si komputer yang seolah punya lem di tangan dan indera keenam dan hal-hal tak logis lainnya. Hal ini tidak pernah terjadi pada game-game bola terbaru dengan alasan realitas yang selalu didengungkan oleh perusahaan-perusahaan pembuat game tersebut.
Orang yang masih bisa berpikir jernih mungkin hanya akan sekedar mengumpat bila mengalami berbagai kecurangan tersebut. Tapi aku bisa menjamin, kalau orang stress yang bermain PES 6 dalam kondisi seperti itu, minimal keyboard atau monitor PCnya tidak akan selamat dari amukan. Contohnya adalah salah satu keyboardku di kamar kost.
Tapi ada satu kenikmatan yang aneh, setiap kali aku bisa mengalahkan si komputer tersebut. Ada rasa puas yang luar biasa yang terasa pada saat aku membantai tim yang selalu mencurangiku tersebut. Tidak jarang aku berteriak histeris sewaktu sukses memperdaya kiper lawan di masa injury time, ketika timku tertinggal dari tim komputer. Perasaan nikmat yang sama dengan yang kurasakan ketika aku menjadi juara kelas semasa SD sampai SMP, diterima di salah satu sekolah teknik terbaik di sulsel, lolos UMPTN dan tentu saja, rasa puas yang kurasa semenjak lemak-lemak di tubuh ini semakin terkikis seiring dengan berjalannya waktu.
---------
Dulu kalau tidak salah, aku pernah menulis bahwa salah satu kenikmatan terbesar yang dirasakan oleh orang diet adalah pada saat orang lain di sekitarnya memuji dan mengakui keberhasilannya dalam mengusir timbunan lemak yang ada di tubuh orang tersebut.
"Wah ... kamu kurusan ya sekarang..", atau "Ouw .. dietnya sukses nih !", dan kata-kata pujian lainnya yang bisa membuat si pasien diet terbang ke langit ketujuh di siang hari bolong. Semua sudah kualami. Semua sudah kurasakan. Dan apa komentar yang paling sering kudengar sekarang ?
"Wah hebat ... bodi lu bagus ya sekarang, salut gw!", kata salah satu seorang teman. Teman cewek yang lain memberi komentar, "Dhi, ternyata lu ganteng ya kalo langsing ..". Komentar yang sudah 20 tahun lebih tidak kudengar lagi karena aku mulai gendut sejak kelas 4 SD. Sejak kelas 4 itulah, nama panggilan yang dianugerahkan orang tua dan guru kepadaku seolah tidak pernah digubris oleh teman-teman di sekitarku. Sebagai gantinya, mereka memanggilku dengan nama-nama baru yang sering bikin kuping panas seperti gendut, gembrot, battala, commo, endut dan sinonim-sinonimnya. Jadi, bisa dibayangkan betapa puas dan senangnya hatiku dengan pengakuan-pengakuan dan komentar terbaru dalam sebulan terakhir.
Tapi ... demi Allah, dari hari ke hari, komentar-komentar itu semakin gampang terdengar di telingaku. Sekarang, bukan hanya teman di kantor, tapi teman kos, ibu kos, ABG penjaga warung kelontong, penjual sate, tukang sol sepatu sampai anak penjual ikan juga ikutan ngasih komen. Parahnya lagi, mbak-mbak penjual warteg di seberang kali Ciliwung itupun sekarang sudah mulai berani lirik-lirik setiap kali aku memborong sayuran di warungnya.
Bukannya bermaksud sombong dan munafik, tapi terus terang aku mulai jenuh dengan komen-komen itu. Sekarang cuma bisa senyum kecut campur malu tiap kali dengar kata-kata mutiara di atas. Saking jenuhnya, sampai sempat terlintas pikiran : APAKAH AKU BERHENTI DIET SAJA YA SEKARANG ?? TOH UDAH KURUSAN ....
Beberapa teman memang menyarankan demikian. Konon karena tulang dan kepalaku besar, kalo terlalu kurus nggak enak dilihat. Nggak proporsional katanya. Dan aku sempat setuju. Sekali lagi, hanya sempat setuju. Dan karena itulah, aku sempat mengurangi diet, mulai banyak makan nasi dan makanan tinggi kalori lainnya. Diet Santai katanya.
Tapi apa yang kurasakan kemudian ? Hampa. Tak bergairah. Hanya seperti itukah ? Haruskah kuhentikan semua kerja keras ini ? Jalan kaki bersimbah peluh sejauh 3 km setiap malam, menyusuri jalan sultan Sjahrir yang sunyi angker sambil membawa tas dengan bobot setara anak umur 5 tahun di punggung, digonggongi anjing great dane di rumah no.21 itu, menghentikan ini semua hanya karena masalah penampilan ?
Sekarang aku mulai mengerti dari mana datang rasa puas yang selalu kurasakan setiap kali bermain PES 6. Tantangan. Hidup ini tidak akan pernah terasa nikmat tanpa ada yang namanya tantangan. Bermain game dan diet adalah dua hal yang berbeda, tapi memiliki tujuan dengan substansi yang sama yang disebut kemenangan. Dan ketika tantangan itu hilang, hidup akan terasa lebih hambar, sepi dan kurang bermakna.
"Kalau kamu masih gendut seperti ini sampai umur 30 puluh, umurmu tak akan panjang".
Masih terngiang jelas kata-kata itu di telingaku ketika duduk dalam kereta Pakuan Express Bogor-Jakarta, di suatu senja bulan Juni yang lalu. 75-77 kilogram, ukuran normal menurut BMI (Body Mass Index). Bukankah itu tujuanku yang sebenarnya ? Saat ini aku masih dalam kategori overweight, dan sudah jelas, tujuan akhirku masih belum tercapai. Bodoh sekali kalau aku berpikir untuk mengakhiri diet hanya karena komentar "Ganteng" atau "Langsing" itu.
Tantangan itu masih belum usai, inilah ujian terbesar selama aku diet dan aku masih menanti rasa puas yang ingin kurasakan setelah target 75 kilogram itu tercapai. Rasa puas yang sama ketika aku membantai tim-tim brengsek dalam game PES 6.
Berat badan terakhir : 86.5 kg
yipie! kunjungan perdana comment pertamax pulax
ReplyDeletesukses deh dietnya
pantang mundur pantang menyerah
jangan lupa kerja :)
makasih ya, anakkutu ... uhuk uhuk *nama kok anakkutu sih ca ?*
ReplyDelete