Pages

Wednesday, July 15, 2015

Cerita Monbukagakusho #4 - The Interview - Part 1

24 Juni 2014.

Galau. Keceriaan setelah lolos seleksi tertulis Monbusho mendadak hilang setelah pesan WA dari Pak Erwin, Kapok (Ketua Kelompok) saya masuk.

"Ardhi, kamu berangkat ke Banjar tanggal 4 Juli ya, aplusan posko."

Tanggal 9 Juli kan saya wawancara. Gimana pula ini ? Kalau sudah di lapangan, nggak mungkin bisa ijin pulang. Saya harus ngomong ke kapok dan kasubag kepegawaian tentang jadwal wawancara Monbusho. Kalau nggak, habis sudah perjuangan selama ini. Udah bela-belain kedinginan sampe 3 jam, udah nggak bisa ngerjain tes Bahasa Jepang (???), masa sih nggak ikut wawancara juga.

Setelah negosiasi yang lumayan alot (menurut versi saya), Alhamdulillah, kapok sangat pengertian dan akhirnya saya diijinkan berangkat lebih awal, tanggal 29 Juni - 8 Juli, supaya bisa ikut wawancara esoknya. Terima kasih Pak Erwin .. ^o^

--------

4 Juli 2014.

Posko hujan buatan di Banjarbaru ternyata tutup lebih cepat, alhasil saya bisa kembali ke Jakarta empat hari sebelum jadwal wawancara. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, saya pun mulai berlatih wawancara. Tahapan ini adalah yang paling krusial dari seluruh proses primary screening, dan saya orangnya rada grogian, jadi nggak terlalu suka sama yang namanya interview.

Dari 98 orang peserta yang ikut tes tertulis, 52 orang lulus dan berhak ikut tes wawancara. Dan konon, yang akan lulus dari tes ini ada 35 orang. Artinya, peluang lulusnya lumayan besar. Saya nggak boleh membuang kesempatan emas ini, dan seperti sebelumnya, referensi utama saya adalah blog para 'alumni' Monbusho. 

Dari pengalaman para sesepuh beasiswa tersebut, peserta akan menghadapi 5 orang pewawancara, yang biasanya terdiri dari 3 orang Indonesia dan 2 orang Jepang. Dan hal pertama yang akan diminta pewawancara adalah self introduction. Kita diminta menceritakan tentang diri kita. Nah, ada beberapa versi tips yang disarankan para sesepuh. Ada yang menyarankan kita bercerita apa adanya, mulai dari nama, kota kelahiran, keluarga, pekerjaan dan hobi. Versi lain menyarankan agar kita lebih professional, cukup ceritakan tentang diri, pekerjaan, kompetensi dan target kita, dalam 1 menit saja. Lebih dari itu, katanya pewawancara tidak tertarik lagi. Saya putuskan memilih strategi kedua.

Setelah perkenalan diri, konon porsi terbesar dari wawancara adalah tentang rencana riset. Oleh karena itu, para sesepuh menyarankan agar kita membuat semacam list pertanyaan yang kemungkinan akan ditanyakan oleh pewawancara, dan kita berlatih menjawabnya. Tujuannya, supaya kita tidak gagap lagi ketika menjawab. Tips yang sangat masuk akal. 

Terakhir, sesepuh juga menyarankan agar kita menyiapkan semacam outline presentasi di kertas yang bisa diperlihatkan kepada pewawancara agar tema riset kita bisa lebih mudah dipahami. Ini juga bisa menjadi nilai plus buat kita, karena akan menunjukkan kalau kita siap dan serius ingin belajar di Jepang. Ya ... ya ... saya juga sependapat. 

Saya pun mulai berlatih di dalam ruang server. Selain agar bisa lebih berkonsentrasi, strategi ini juga berguna untuk menghindari kesalahpahaman rekan kerja, jadi kita nggak dikira sinting kalo komat-kamit sendiri. Supaya lebih afdol, saya putuskan merekam latihan saya dengan webcam laptop.


Rekaman pertama, saya terkesiap. Itu yang ngomong beneran saya ? Wajar dulu saya pernah gagal wawancara ... wong ngomongnya masih belepotan kayak gitu. Wah, ini perlu latihan lebih banyak.

Rekaman kedua, ketiga dst, saya mulai terbiasa mengatur mimik wajah dan intonasi suara. Self introduction akhirnya mulai lancar dan bisa beres dalam 1 menit. Setelah itu, saya bisa berlatih pertanyaan-pertanyaan yang sudah saya buat sendiri.

Hari rabu,  8 Juli, setelah sholat dan membaca beberapa lembar Al-Quran, saya pulang lebih cepat (karena Ramadhan) dan menyudahi latihan wawancara. Saya ingin rileks dan santai sejenak sebelum wawancara besok.

Bersambung ke bagian 2 ...

No comments:

Post a Comment