2 April 2016, 05:30 JST
JL726, di suatu tempat di atas laut Filipina bagian utara, kurang lebih 40 ribu kaki di atas permukaan laut.
Lampu-lampu kabin dinyalakan. Para penumpang pun banyak yang terjaga dari tidurnya. Sebagian mulai melangkah ke lavatory di bagian tengah dan belakang pesawat. Para pramugari pun mulai sibuk hilir mudik membagikan kain hangat untuk penumpang, sebagian lainnya mempersiapkan hidangan untuk sarapan. Di luar jendela, matahari masih tampak malu-malu di balik awan Altostratus yang mendominasi langit di pagi itu. Yang lebih banyak terlihat hanya semburat jingga di ufuk timur sana.
Hari ini ... beberapa saat lagi saya akan tinggal dan menetap di Jepang, untuk yang pertama kalinya.
Walaupun sudah beberapa kali mengunjungi negeri ini sebelumnya, tapi sekarang tentu akan berbeda. Kalo dulu sifatnya kerja, temporary visit, kali ini statusnya adalah permanent resident, sebagai pelajar. Kalo dulu lebih seperti turis, bebas belanja dan keluyuran ke mana-mana setelah urusan dengan pekerjaan selesai, sekarang harus pintar-pintar mengatur duit kalo mau bertahan hidup. Dan pastinya bakal ada banyak tantangan lagi yang harus dihadapi selama tinggal di negari matahari terbit ini.
"Ohayoo gozaimasu ..", sapaan pramugari menyadarkan saya dari lamunan, seraya menyodorkan baki sarapan.
Menu sarapan kali ini: waffel, sosis ayam, kentang, brokoli, ditambah yogurt, buah-buahan, dua botol Yakult dan semangkuk sup miso. Orang yang doyan sarapan nasi uduk atau bubur ayam pasti akan linglung sejenak disuguhi menu macam ini. Perut sebenarnya nggak terlalu lapar, maklumlah, sudah dihajar bakso O***s di bandara Cengkareng semalam. Tapi saya paksa saja sarapan. Perjalanan masih belum selesai, kita nggak tau apa yang bakal terjadi setelah mendarat nanti. Apakah bakal lama tertahan di imigrasi Narita, belum lagi perjalanan ke tempat tinggal baru.
Awal bulan April, waktu Sakura mulai bermekaran, yang juga bertepatan dengan tahun akademik baru, sekaligus tahun fiskal baru di Jepang. Jadi bisa dibayangkan bagaimana ramainya bandara-bandara di Jepang oleh para turis dan mahasiswa dari berbagai belahan bumi. Dan itu artinya, antrian di loket imigrasi bakal panjang. Jadi, daripada kelaparan di bandara, mending sarapan aja lah. Soal rasa enak atau nggak, itu urusan belakangan.
Dua jam kemudian, kurang lebih pukul 7:30 waktu setempat, pesawat landing dengan mulus di bandara Narita. Para penumpang pun bergegas menuju loket imigrasi di terminal kedatangan. Saya bukan satu-satunya penerima beasiswa MEXT dari Indonesia yang datang ke Jepang hari itu. Kurang lebih ada 10 orang mahasiswa Indonesia yang berangkat dengan penerbangan yang sama, dan semuanya berdomisili di Tokyo dan sekitarnya.
Sesampai di loket imigrasi, antrian mulai mengular, walaupun belum panjang. Seorang petugas wanita dengan suara lantang dan bahasa Inggris yang lumayan lancar meminta agar orang-orang yang akan menetap di Jepang (permanent resident), termasuk mahasiswa, untuk menunggu di antrian yang berbeda dengan antrian turis. Di sana sudah ada sekelompok orang, sepertinya dari India atau Bangladesh, dan sebagian orang-orang dari Asia Tenggara, seperti Thailand atau Myanmar. Kami menunggu lumayan lama sebelum akhirnya diminta masuk ke dalam sebuah ruangan khusus untuk membuat Resident Card. Kartu ini bisa dibilang semacam KTP untuk gaijin alias orang asing, yang menunjukkan data, status dan periode menetap dari yang bersangkutan. Lucunya, konon kartu ini dulunya disebut Alien Card ... alien ... orang asing dianggap alien ... hahha. Walaupun kalau diartikan memang betul segala sesuatu yang asing itu alien, tp tetap aja aneh didengar.
Karena saya punya rencana suatu saat kerja sambilan di Jepang (baito), maka saya juga menyerahkan form aplikasi baito ke petugas imigrasi. Sebelum berangkat saya sudah membaca berbagai postingan di internet yang mewanti-wanti agar aplikasi ini dilakukan segera setelah mendarat di Jepang, karena prosesnya akan jauh lebih mudah dibandingkan bila aplikasinya dilakukan di kemudian hari. Setelah aplikasi, resident card akan diberi cap khusus yang menunjukkan kita sudah sah untuk bekerja part-time di Jepang.
Setelah urusan imigrasi beres, saya pun berpamitan ke teman-teman dari Indonesia untuk melanjutkan perjalanan ke Kashiwa, tempat tinggal saya selama di Jepang. Kota ini terletak kurang lebih 40an km di sebelah timur laut Tokyo. Kashiwa bisa dijangkau dengan angkutan umum seperti kereta, bus dan taksi. Berhubung bawaan saya lumayan banyak, saya lebih memilih bus karena tidak perlu pindah-pindah seperti halnya kereta, dan tentu saja ongkosnya tidak akan semahal taksi. Saya menggunakan Tobu Bus dengan tujuan Kashiwanoha Campus, daerah tempat tinggal saya. Ongkosnya 1700 yen untuk satu orang.
Perjalanan dari Narita ke Kashiwa ternyata lumayan lama, kurang lebih 2 jam, padahal kalo di peta kayaknya nggak terlalu jauh. Begitu sampai di Kashiwanoha, saya pun melanjutkan perjalanan via jalan kaki ke tujuan akhir. Jalan kaki ternyata adalah pilihan yang salah, karena jarak yang ditempuh lumayan jauh dari tempat turun bus tadi. Setelah susah payah mendorong dua koper ukuran jumbo sejauh kurang lebih 1 km, akhirnya saya sampai juga di rumah baru saya.
Kashiwa International Lodge alias Kashiwa lodge, demikian tempat ini disebut, adalah tempat tinggal mahasiswa dan peneliti internasional Todai. Sesuai namanya, para penghuni Kashiwa Lodge hampir semuanya pendatang. Dari pengamatan saya, sebagian besar orang yang tinggal di tempat ini berasal dari Tiongkok, sedangkan sisanya ada yg dari Korea, Turki, India, Yunani, Samoa, Indonesia, Filipina dan lain-lain. Suatu saat mungkin saya akan buat tulisan khusus tentang tempat ini.
Setelah menyelesaikan registrasi, saya pun masuk ke kamar yang sudah ditentukan. Hari pertama yang melelahkan. Tapi alhamdulillah, semuanya lancar, mulai dari berangkat sampai sesampainya di lodge.
Dua belas jam terlewati sejak kaki melangkah masuk ke pesawat di bandara Cengkareng semalam. Matapun terasa mulai berat. Selepas sholat dzuhur, saya beringsut ke kasur. Berbaring, melepaskan semua penat di badan.
Cukup sekian dulu laporan di hari pertama.
No comments:
Post a Comment