Minggu
pagi, 30 November 2014, ada yang berbeda dengan langit Jakarta. Cuaca
pagi hari yang biasanya cerah kini berganti suram. Awan mendung
menggantung, disertai hembusan angin yang cukup kencang dari barat,
sudah cukup untuk menahan saya beranjak dari kasur untuk jogging pagi di
car-free-day. Tiris, kalau orang Sunda bilang.
Setengah ngantuk, saya berpikir. Sudah masuk musim hujankah ini ?
Tapi
ini kan masih akhir November. Saya mungkin bukan pakar cuaca, tapi
menurut pengalaman, kondisi seperti pagi ini biasanya baru akan terjadi
menjelang akhir Desember atau awal Januari. Setelah tengok data cuaca di
sana-sini, benar dugaan saya. Kondisi cuaca hari ini bukan dikarenakan
musim hujan, tetapi MJO.
Lalu
apakah itu MJO ? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap cuaca di Indonesia ?
Untuk memahami konsep MJO, mari kita ulas dahulu musim di Indonesia.
Apabila
diibaratkan, musim di Indonesia itu laksana gelombang yang memiliki
siklus, di mana musim hujan yang terjadi akan selalu diikuti oleh musim
kemarau. Siklus ini berulang setiap tahun dan waktu terjadinya bisa
bervariasi tergantung lokasi geografis. Untuk wilayah Jakarta dan Jawa
bagian barat misalnya, musim hujan akan terjadi pada akhir dan awal
tahun, sementara musim kemarau terjadi pada pertengahan tahun, begitu
seterusnya. Saya yakin para pembaca sudah mafhum akan hal ini.
Seperti halnya musim, MJO atau Madden-Julian Oscillation
juga bisa diibaratkan seperti gelombang, atau lebih tepatnya :
gelombang yang merambat. Berbeda dengan musim, siklus MJO ini tidak
terjadi setahun sekali, tapi setiap 30-90 hari dan bergerak dalam bentuk
anomali konvektif yang mengelilingi Bumi dari barat ke timur. Karena
proses pembentukan awan dan hujan di wilayah tropis sangat dipengaruhi
oleh proses konvektif (akibat pemanasan bumi oleh radiasi matahari),
maka otomatis MJO sangat berpengaruh terhadap cuaca di Indonesia. Pada
saat MJO melintas, daerah yang dilaluinya akan mengalami apa yang
disebut sebagai periode basah, yang kemudian diikuti periode kering. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar di bawah :
Pada
saat periode basah terjadi, perawanan (tolong dibaca : per-awanan)
meningkat secara signifikan, mendung terjadi sepanjang hari, dan
terkadang diikuti oleh hujan ringan hingga lebat dan angin kencang dari
barat. Periode basah ini biasanya terjadi selama 5 - 15 hari, lalu
datanglah periode kering. Sesuai namanya, pada periode kering awan lebih
sukar terbentuk (bahasa kerennya, convectively suppressed),
dan sebagaimana kita tahu, bila tidak ada awan, tentunya tak akan ada
hujan. Karena siklusnya yang jauh lebih singkat dibanding musim, MJO
biasa disebut sebagai variasi intraseasonal atau variasi musim di dalam musim itu sendiri. Fenomena
ini sendiri baru ditemukan oleh Rolland Madden dan Paul Julian di awal
tahun 70-an, yang dituliskan dalam jurnal ilmiah dengan judul “Detection
of a 40-50 day oscillation in the zonal wind in the tropical Pacific”.
Secara
matematis, MJO bisa dideteksi dan diprediksi dengan mengamati beberapa
parameter fisis di atmosfer, misalnya Outgoing Longwave Radiation (OLR)
dan komponen angin zonal (barat-laut). Parameter-parameter tersebut
dapat diolah untuk menghasilkan suatu Indeks MJO, yang bisa digunakan untuk mendeteksi posisi dan kekuatan MJO yang terjadi, seperti gambar di bawah ini.
Gambar
di atas adalah grafik indeks MJO yang dirilis oleh BOM (BMKG-nya
Australia), yang menunjukkan ‘rute perjalanan’ MJO selama 40 hari
terakhir, dengan data terbaru adalah tanggal 29 November (ujung kurva
biru). Terlihat bahwa pada tanggal 29 November, MJO berada pada fase 4
yang notabene adalah benua maritim Indonesia bagian barat. Dalam kondisi
ini, cuaca di wilayah Indonesia bagian barat umumnya akan mendung
disertai hujan selama beberapa hari ke depan, lalu diikuti oleh cuaca
kering beberapa hari berikutnya.
Gambar
di atas menunjukkan prediksi MJO berdasarkan anomali OLR dalam 15 hari
ke depan, dimulai dari tanggal 29 November 2014. Terlihat kondisi
perawanan yang tinggi pada hari ke-1 sampai ke-5 di hampir seluruh
wilayah Indonesia yang digambarkan dengan kurva biru (anomali negatif),
pada saat inilah terjadi periode basah. Selanjutnya pada hari ke-6
sampai ke-15, terlihat bahwa perawanan bergeser ke timur (Samudera
Pasifik), digantikan oleh periode kering dalam bentuk anomali OLR
positif (kurva kuning), di mana awan sukar terbentuk di wilayah
Indonesia.
Apakah
prediksi ini akan benar terjadi ? Kita lihat saja dalam dua minggu ke
depan. Yang penting sekarang, tidak perlu bingung kalau nanti di
pertengahan Desember atau saat musim hujan, cuaca menjadi kering seperti
kemarau, karena MJO adalah fenomena yang normal terjadi di wilayah
tropis seperti Indonesia.
Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment