Friday, May 27, 2016

Gaijin Story #3 - Berburu Provider Seluler Murah Tanpa Credit Card di Tokyo

Sumber: www.nippon.com

Telekomunikasi adalah salah satu hal paling penting bagi setiap orang, nggak cuma di Indonesia, tetapi juga di Jepang. Dan mungkin juga, banyak orang yang sudah paham kalau Jepang memiliki sistem yang berbeda dengan Indonesia, dalam hal telekomunikasi seluler. Di Indonesia, kita bisa dengan mudah memiliki nomor HP sesuai keinginan. Tinggal pilih provider seluler, beli SIM Card, pasang di HP, registrasi, selesai.

Bagi orang yang menetap di Jepang (lebih dari 3 bulan dan bukan turis), untuk bisa memiliki nomor HP, kita harus memiliki kontrak dengan provider seluler, tidak peduli apakah sistemnya pra-bayar maupun pasca-bayar. Kebanyakan provider seluler di Jepang menawarkan kontrak dalam bentuk paket bersama dengan smartphone, artinya kalau kita beli paket, kita juga mendapat smartphone baru. Periode kontrak umumnya dua tahun. Bila kita ingin memutus kontrak kurang dari dua tahun, maka kita harus membayar pinalti. Mau ganti SIM card diam-diam? Nggak semudah itu, karena smartphone sudah dikunci untuk bisa bekerja dengan SIM card dari provider yang bersangkutan.

Biaya bulanan yang harus kita bayarkan untuk sistem kontrak semacam ini biasanya terbilang mahal, karena pelanggan nggak cuma membayar paket komunikasi, tapi juga sekaligus "nyicil" smartphone yang sudah termasuk dalam kontrak tadi. Kontrak dengan DOCOMO, operator terbesar di Jepang, misalnya, paling murah 7000-8000an yen per bulan (silakan kali Rp.100 untuk kisaran harga kasarnya dalam Rupiah). Walaupun cenderung memberatkan, masih banyak orang yang memilih kontrak semacam ini, umumnya karena tertarik dengan smartphone yang ditawarkan, misalnya iPhone atau Samsung Galaxy model terbaru.

Alternatif lain yang bisa digunakan adalah kontrak tanpa smartphone, artinya kita hanya membeli SIM card saja. Kontrak hanya dengan SIM ini jauh lebih murah, dan untungnya lagi, kita bisa menggunakan smartphone apapun, selama SIMnya tidak terkunci, seperti halnya smartphone yang dijual di Indonesia. Biaya bulanan untuk kontrak semacam ini biasanya di bawah 5000 yen per bulan.

Kalau saya sendiri, jujur saja, tidak peduli dengan smartphone, dan lebih tertarik dengan paket komunikasinya saja. Bagi saya, smartphone yang saya bawa dari Indonesia sudah lebih dari cukup untuk keperluan komunikasi, seperti telepon, chatting atau internet. Pokoknya yang penting saya dapat nomor telepon Jepang untuk berbagai keperluan, seperti asuransi, mencari apartemen dan layanan publik lainnya, itu saja. Lagian, saya mahasiswa yang hidupnya bergantung dengan beasiswa. Jadi, daripada habis buat bayar telepon, mendingan duitnya dipakai untuk hal lain yang lebih penting, atau ditabung. Alasan lainnya, informasi paket + smartphone yang ditawarkan provider besar seperti DOCOMO cenderung rumit, terlalu detil dan membingungkan, padahal yang kita butuhkan sebenarnya hanya kisaran biaya total yang harus dibayarkan setiap bulannya. Mungkin ini strategi bisnis atau memang bagian dari budaya masyarakat Jepang yang serba detil ? Entahlah.

Informasi paket bulanan DOCOMO yang njelimet ... biaya di atas belum termasuk pajak dan nyicil smartphone
Kesimpulannya, saya lebih tertarik dengan sistem kontrak dengan SIM saja, dibandingkan paket kontrak dengan smartphone yang ditawarkan provider-provider besar di Jepang.

Mencari provider SIM (atau lazim disebut MVNO) di Jepang sebenarnya gampang-gampang susah, karena jumlahnya yang lumayan banyak, dengan layanan yang beraneka ragam.

Walaupun provider-provider MVNO sering menampilkan iklan dengan "bumbu" bahasa Inggris, anda pada dasarnya tetap harus bisa berbahasa Jepang, karena staf di toko mereka umumnya tidak bisa berbahasa Inggris. Saya beberapa kali mencoba berkunjung ke toko-toko MVNO untuk menanyakan paket yang ditawarkan, dan umumnya para staf di sana kebingungan ketika saya bertanya dalam bahasa Inggris. Saya juga pernah mencoba bertanya dalam bahasa Jepang yang masih payah (ditambah bahasa isyarat), hasilnya sama saja. Bagi saya, lebih baik mencari provider yang benar-benar bisa memberikan informasi yang jelas dalam bahasa Inggris, daripada kebingungan di kemudian hari. Untungnya, di beberapa lokasi di Tokyo yang ramai dengan turis, seperti Akihabara atau Shibuya, banyak staf toko yang bisa berbahasa Inggris, misalnya BIC SIM atau IIJMO.

Kendala berikutnya adalah metode pembayaran. Kebanyakan provider MVNO hanya menerima pembayaran via credit card, dan berhubung membuat credit card di Jepang tidak gampang dan butuh waktu (setidaknya 1-2 bulan), ini berarti masalah buat orang asing yang tidak memiliki credit card seperti saya. Karena kendala inilah, akhirnya saya tidak jadi membuat kontrak dengan BIC SIM dan IIJMO, dan harus mencari provider lain.

Awalnya, saya nyaris putus asa karena tak kunjung menemukan provider MVNO yang mau menerima pembayaran selain credit card, misalnya lewat transfer bank/ATM. Sempat juga nyaris membuat kontrak dengan DOCOMO yang biaya bulanannya selangit itu (DOCOMO menerima pembayaran cash), karena saya harus segera mendapatkan nomor telepon Jepang untuk keperluan lain. Untungnya, setelah bertanya lewat sebuah forum, salah seorang anggota yang sudah tinggal lama di Tokyo menyarankan saya untuk menghubungi GTN, salah satu provider MVNO yang bermarkas di Shin-Okubo.

Informasi paket SIM GTN yang sederhana dan .. murah ...
Walaupun sempat ragu, namun karena butuh cepat, akhirnya saya beranikan diri ke toko mereka di Shin-Okubo. Di sana, saya diberikan penjelasan tentang paket-paket yang ditawarkan mereka, dalam bahasa Inggris. Paket flat untuk voice dan data sekitar 3000an yen, sedangkan untuk paket 3 GB dihargai sekitar 1900an yen, per bulan. Termasuk murah untuk ukuran MVNO dengan layanan voice dan data. Kontraknya minimal 7 bulan dan fleksibel, di mana kita  bisa memilih paket lain setelah 3 bulan. Tapi yang paling membuat saya lega, pembayaran bulanannya bisa dilakukan via transfer bank dan konbini (convinient store). Saya pun segera membuat kontrak baru dengan GTN, dan dalam tempo sekitar 30 menit, seluruh proses registrasi selesai dan smartphone saya sudah memiliki nomor Jepang :-D

Perburuan provider MVNO pun selesai. Sejauh ini saya cukup puas dengan service yang ditawarkan GTN, terutama untuk layanan bahasa Inggris dan metode pembayarannya. Jadi, sepertinya dalam 7 bulan ke depan saya tidak akan pindah dulu ke provider lain.

Monday, May 23, 2016

Research Note #3 - FX10 The University of Tokyo Super Computer Log In

Dua minggu lalu, saya diberi kesempatan untuk menjajal Super Computer Todai untuk keperluan simulasi/model. Berhubung status saya masih kenkyusei, maka saya belum mendapatkan username dan password untuk bisa log in ke sistem super computer. Alhamdulillah, Sensei berbaik hati meminta ke divisi supercomputer Todai untuk membuatkan username dan password agar saya bisa terkoneksi ke sistem. 

Seperti halnya koneksi internet/wifi di Todai, super computer Todai tidak bisa diakses begitu saja dengan mudah. Sistem pengamanannya berlapis, karena selain username dan password, pengguna juga harus mendaftarkan "key" ke sistem via website, sebelum bisa mengakses sistem dengan menggunakan SSH client seperti Putty.

Penggunaan "key" ini sebenarnya sederhana prinsipnya, namun cukup rumit bagi orang yang tidak terbiasa menggunakannya, termasuk saya. Tulisan ini dibuat jikalau saya sewaktu-waktu lupa prosedurnya.

1. Administrator mengirimkan username dan password untuk registrasi
Username yang dimaksud di sini adalah username yang bisa digunakan untuk log in ke sistem registrasi website, dan super computer. Sedangkan password yang dikirim adalah password yang hanya diperuntukkan bagi registrasi, bukan untuk akses ke super computer. 

Administrator juga akan mengirimkan link yang berisi manual/petunjuk untuk terhubung dan menggunakan super computer.

2. Membuat public key dan private key dengan Putty Key Generator
Public key akan didaftarkan pertama kali via website dengan menggunakan username/password yang dikirimkan administrator (langkah 1). Super computer akan menghubungkan username kita dengan public key yang kita daftarkan. Perubahan public key hanya perlu dilakukan sekali saja dan hanya bisa dilakukan via website.

Private key digunakan sebagai pengenal SSH client yang kita gunakan, berdasarkan public key yang kita daftarkan. Bila ingin mengakses super computer dengan beberapa client/PC yang berbeda, key ini harus disimpan dan didistribusikan pada setiap client. Dengan kata lain, private key ini adalah "password" yang akan digunakan untuk mengakses super computer.

Public key dan private key bisa dibuat dengan menggunakan Putty Key Generator (gratis).


Public key dibuat dengan menekan "Generate", lalu menggerakkan mouse secara acak pada ruang kosong pada blank area aplikasi. Setelah public key muncul, buatlah "Key passphrase" yang merupakan password dari publik key. Bila sudah, simpan ke dalam bentuk private key file dengan memilih "Save Private Key". File ini nantinya bisa disalin ke PC lain bila ingin mengakses super computer dengan menggunakan Public Key yang sudah dibuat.

Bila ingin segera melakukan registrasi public key, jangan tutup aplikasi. Buka halaman web : 

3. Registrasi Public Key via Website
Setelah masuk ke website, log in dengan menggunakan username dan password yang dikirim administrator pada langkah 1.

Setelah masuk, daftarkan public key dengan memilih menu "SSH公開鍵登録" di panel sebelah kiri layar.


Copy public key di aplikasi Putty Key Generator, dan paste pada text box yang sudah disediakan. Lalu tekan submit dibagian bawah text box.


Bila tidak ada pesan kesalahan, maka proses registrasi public key selesai.

4. Menggunakan Putty untuk mengakses super computer.
Bila public key sudah didaftarkan, maka koneksi bisa dilakukan dengan menggunakan Putty. Koneksi pada dasarnya dilakukan seperti biasa, dengan tambahan private key. Sebelum melakukan koneksi, kita harus menetapkan private key yang sudah disimpan sebelumnya pada menu : Connection >  Auth


Setelah itu, koneksi bisa dilakukan. Super computer akan meminta username (dari admin) dan phrasekey (password/Keypassphrase) yang kita buat sebelumnya dengan Putty Key Generator. Bila tidak ada kesalahan, maka kita akan terkoneksi dengan sistem.


Walaupun agak ribet, tapi penggunaan "Key" ini sebenarnya sangat bagus untuk meningkatkan keamanan sistem. Dengan metode ini, peran password akan digantikan oleh private key dalam bentuk file, yang akan dikirimkan ke server oleh client pada saat log in. Pengguna yang tidak berhak, yang tidak memiliki private key yang sesuai, akan langsung ditolak oleh server.

Monday, May 16, 2016

Gaijin Story #2 - Kashiwa no Shigatsu

Sakura di Kashiwanoha Koen (Taman Kashiwa)
16 Mei 2016.

Tidak terasa, sebulan lebih sudah terlewati sejak pertama kali datang ke Kashiwa. Inilah rekor terlama saya di Jepang. Sebelumnya, saya cuma paling lama 3 minggu berkunjung ke negara ini. 

Kashiwa adalah salah satu kota di perfektur Chiba, kurang lebih empat puluh kilometer di sebelah utara Tokyo. Kalau dengan kereta, Kashiwa bisa dijangkau dalam waktu 20-30 menit dari Tokyo. Di kota inilah, salah satu kampus Todai berada, Kashiwa campus. Umumnya, laboratorium dan pusat riset Todai yang berhubungan dengan ilmu alam dan lingkungan berada di kampus ini. Kashiwa campus berlokasi di Kashiwanoha, kalau diartikan secara kasar: "Daun Kashiwa", mungkin karena di tempat ini banyak sekali ditemui taman dan pepohonan dibandingkan pusat kota Kashiwa. Karena posisinya yang berada agak di pinggiran Kashiwa dan lumayan jauh dari hiruk pikuk perkotaan, maka suasana kampus saya bisa dibilang sunyi senyap kalau dibandingkan dengan Hongo campus, kampus utama Todai di Tokyo. Jarak dari kampus ke tempat tinggal saya di Kashiwa lodge kurang lebih 1.2 km, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 15-20 menit, menyusuri tepi Kashiwanoha Koen (taman Kashiwanoha). Taman ini sangat indah di awal musim semi. Sepanjang jalan dipenuhi oleh pepohanan Sakura yang sedang bermekaran.

University of Tokyo, Kashiwa Campus
Minggu pertama saya di Jepang lebih banyak disibukkan oleh urusan administrasi dan orientasi. Seperti gaijin (orang asing) lainnya yang menetap di Jepang, yang pertama kali harus saya lakukan adalah mendaftarkan alamat saya ke city hall (balai kota), paling lambat 14 hari sejak pertama kali tiba di Jepang. Selain itu, saya juga harus mendaftar asuransi kesehatan nasional Jepang. Dengan asuransi ini, kita hanya perlu membayar 30% biaya pengobatan di klinik atau rumah sakit di Jepang, sisanya akan ditanggung oleh negara. Selain registrasi alamat dan asuransi, kita juga harus melaporkan diri agar tidak dikenai pajak pensiun Jepang, karena status kita adalah pelajar (dianggap belum memiliki pendapatan tetap). Ketiga prosedur ini merupakan syarat yang harus dipenuhi, karena bila tidak dilakukan, maka kita tidak bisa membuka rekening di bank. Dan kalau tidak ada rekening, maka tidak ada uang beasiswa. As simple as that ...

Registrasi alamat dan asuransi nasional (hoken) di Kashiwa city-hall
Urusan administrasi di Jepang bisa dibilang sangat strict, dan terkadang, butuh berlembar-lembar dokumen. Kita harus memberikan data diri seakurat mungkin. Berbeda sedikit saja, misalnya ketika penulisan alamat, urusannya bisa rumit. Untungnya, untuk urusan administrasi, saya banyak dibantu oleh tutor di lab saya, sedangkan untuk membuka rekening di bank, saya (dan mahasiswa baru lainnya) dibantu oleh staf dari international liaison office fakultas. Tanpa mereka, mungkin bisa amburadul semuanyaa ...

Selain itu, saya juga harus bolak-balik Tokyo-Kashiwa untuk mengikuti berbagai orientasi di kampus Hongo. Biaya transportasi di Jepang lumayan mahal dibandingkan pengeluaran lainnya. Dari Kashiwa ke kampus Hongo Todai di Tokyo misalnya, biaya yang dikeluarkan untuk sekali jalan kurang lebih 850 yen. Kalau dirupiahkan dengan kurs Rp.100/yen, berarti bolak-balik sudah 1700 yen atau Rp. 170 ribu, padahalnya jaraknya hanya seperti Jakarta-Bogor saja. Omong-omong soal duit, ternyata untuk mahasiswa MEXT yang tinggal di sekitar kota besar seperti Tokyo, mendapat subsidi sebesar 2000 yen per bulan. Jadi kalau ditotal, beasiswa saya sebulan dapat 145 ribu yen. Nggak banyak sih, tapi disyukurin aja.

Orientasi mahasiswa internasional (MEXT/JASSO) di Graduate School of Science Todai
Di minggu pertama pula, saya untuk pertama kalinya bertemu langsung dengan Sensei dan teman-teman lab. Ketika acara orientasi dan perkenalan, ternyata saya adalah satu-satunya gaijin di lab, sisanya orang Jepang semua. Aneh rasanya, ketika yang lain memperkenalkan diri dalam bahasa Jepang, dan hanya kita yang dalam bahasa inggris. Rasanya benar-benar seperti "Alien" di lab. Tapi mau bagaimana lagi, kemampuan bahasa Jepang saya saat itu mungkin nyaris nol.

Minggu kedua di Jepang, saya mulai merasakan mood swing yang agak parah. Lingkungan yang asing, ditambah dengan orang-orang di lab yang hampir semuanya Nihonjin sedikit membuat saya agak kesepian. Dari pengalaman saya, orang Jepang umumnya tertutup dengan orang asing. Bila kita diam, maka mereka juga akan diam, bahkan cenderung terlihat kurang bersahabat. Tapi kalau sudah kenal (dan percaya) dengan kita, mereka sangat loyal dan suka ngobrol. Jadi bisa dibayangkan ketika pertama kali datang ke lab, suasananya rada-rada gloomy gitu, karena mahasiswanya kebanyakan sibuk dengan kuliah dan penelitian masing-masing. Mau ngajak ngobrol juga nggak enak, walaupun ada beberapa juga yang bisa diajak ngobrol dan bercanda, kebanyakan adalah mahasiswa S3.

Satu-satunya gaijin (orang asing) di lab
Oh iya, di lab saya ada 16 orang mahasiswa, sebagian besar mahasiswa S2. Nah, para mahasiswa S2 ini umumnya lebih serius, kaku dan sangat fokus dengan studinya. Mahasiswa S3 di sisi lain, kelihatan lebih santai dan terbuka. Kadang mereka tidak segan mengajak saya makan bareng atau sekedar ngobrol. Mereka juga kebanyakan mampu berbahasa inggris lebih fasih dibandingkan mahasiswa S2. Tapi ya, saya juga pingin ngobrol dalam bahasa Jepang. Selain untuk mendukung keseharian saya, juga untuk meningkatkan pertemanan dengan teman-teman lab.

Untungnya di kampus Kashiwa ada kursus bahasa Jepang, gratis untuk mahasiswa dan peneliti Todai, beserta keluarganya. Dengan ijin sensei, saya pun mendaftar kelas Nihongo reguler untuk level beginner, kelas percakapan (beginner juga) dan kanji 300. Kelasnya hanya 1 jam per hari, mulai dari senin sampai kamis. Yang paling menyenangkan dari kelas Jepang adalah, kita bisa bertemu dengan orang lain dari berbagai belahan bumi yang juga sedang belajar bahasa Jepang, mulai dari Tiongkok, Korea, Filipina, Brazil, Perancis dll.

Kelas bahasa Jepang di Kashiwa campus
Tapi, bergaul dengan orang asing pastinya nggak senyaman bergaul dengan orang Indonesia kan ? Dari sekian banyak mahasiswa MEXT Todai yang berangkat April 2016, hanya saya yang kampusnya di Kashiwa. Jadi, sejak pertama kali datang, saya mulai mencari-cari orang Indonesia yang ada di kampus Kashiwa. Berawal dari pertemuan dengan seorang mahasiswa Indonesia di kelas bahasa Jepang, akhirnya saya mendapatkan kontak mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang lain di Kashiwa. Awalnya hanya satu, lama-lama makin banyak orang Indonesia yang saya kenal, baik di kampus Kashiwa, maupun Hongo atau Komaba. Saya pun ikut bergabung dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Todai.

Foto bersama pengurus PPI Todai 2016
Alhamdulillah, saya banyak mendapat pengalaman dan masukan dari teman-teman di PPI Todai, terutama untuk bertahan hidup di Jepang, mulai dari cara mencari apartemen, mencari operator hp seluler yang cocok sampai cara mencari perabotan second di Kashiwa. Memang, ongkos yang keluar lebih besar karena acara kumpul-kumpulnya kebanyakan di Tokyo, tapi manfaatnya jauh lebih besar, dan yang paling penting, rasa kesepian (dan stress) saya jauh berkurang. 

Puncaknya mungkin adalah ketika acara Go Gatsu Sai (May Festival) di kampus Hongo Todai, tanggal 14-15 Mei 2016. Anak-anak PPI Todai membuka stand bakso dan menampilkan atraksi angklung untuk menarik pengunjung. Jujur saja, awalnya saya agak enggan berpartisipasi, karena jadwal minggu itu lumayan padat oleh seminar dan meeting di lab, belum lagi ongkos bolak-balik Tokyo yang lumayan mahal. Tapi, akhirnya saya putuskan ikut bergabung dan berpartisipasi, mulai dari latihan angklung sampai acara puncaknya. Alhamdulillah, keputusan yang saya ambil tidak salah. Saya banyak bertemu teman, tidak cuma teman baru, tapi juga dengan teman-teman lama yang saat itu kebetulan berkunjung ke stand Indonesia. Suasananya sangat menyenangkan bisa berkumpul bareng dengan orang-orang Indonesia di negeri asing seperti Jepang. I felt really like at home ...

Foto bersama Setelah dagangan bakso ludes, laris manis ...
Sabtu depan, InsyaAllah, saya tidak akan kesepian lagi, karena istri saya akan datang dan menetep di Kashiwa, mulai tanggal 21 Mei.

Alhamdulillah ya Allah, atas segala nikmat dan pengalaman yang Engkau berikan di bulan-bulan pertama hamba di Jepang. Bila memang ini jalan yang harus hamba tempuh selama studi di negeri ini, hamba mohon mudahkanlah ... aamiin.

Friday, May 6, 2016

Gaijin Story #1 - Hari Pertama

2 April 2016, 05:30 JST

JL726, di suatu tempat di atas laut Filipina bagian utara, kurang lebih 40 ribu kaki di atas permukaan laut.

Lampu-lampu kabin dinyalakan. Para penumpang pun banyak yang terjaga dari tidurnya. Sebagian mulai melangkah ke lavatory di bagian tengah dan belakang pesawat. Para pramugari pun mulai sibuk hilir mudik membagikan kain hangat untuk penumpang, sebagian lainnya mempersiapkan hidangan untuk sarapan. Di luar jendela, matahari masih tampak malu-malu di balik awan Altostratus yang mendominasi langit di pagi itu. Yang lebih banyak terlihat hanya semburat jingga di ufuk timur sana.

Hari ini ... beberapa saat lagi saya akan tinggal dan menetap di Jepang, untuk yang pertama kalinya. 

Walaupun sudah beberapa kali mengunjungi negeri ini sebelumnya, tapi sekarang tentu akan berbeda. Kalo dulu sifatnya kerja, temporary visit, kali ini statusnya adalah permanent resident, sebagai pelajar. Kalo dulu lebih seperti turis, bebas belanja dan keluyuran ke mana-mana setelah urusan dengan pekerjaan selesai, sekarang harus pintar-pintar mengatur duit kalo mau bertahan hidup. Dan pastinya bakal ada banyak tantangan lagi yang harus dihadapi selama tinggal di negari matahari terbit ini. 

"Ohayoo gozaimasu ..", sapaan pramugari menyadarkan saya dari lamunan, seraya menyodorkan baki sarapan.


Menu sarapan kali ini: waffel, sosis ayam, kentang, brokoli, ditambah yogurt, buah-buahan, dua botol Yakult dan semangkuk sup miso. Orang yang doyan sarapan nasi uduk atau bubur ayam pasti akan linglung sejenak disuguhi menu macam ini. Perut sebenarnya nggak terlalu lapar, maklumlah, sudah dihajar bakso O***s di bandara Cengkareng semalam. Tapi saya paksa saja sarapan. Perjalanan masih belum selesai, kita nggak tau apa yang bakal terjadi setelah mendarat nanti. Apakah bakal lama tertahan di imigrasi Narita, belum lagi perjalanan ke tempat tinggal baru.

Awal bulan April, waktu Sakura mulai bermekaran, yang juga bertepatan dengan tahun akademik baru, sekaligus tahun fiskal baru di Jepang. Jadi bisa dibayangkan bagaimana ramainya bandara-bandara di Jepang oleh para turis dan mahasiswa dari berbagai belahan bumi. Dan itu artinya, antrian di loket imigrasi bakal panjang. Jadi, daripada kelaparan di bandara, mending sarapan aja lah. Soal rasa enak atau nggak, itu urusan belakangan.

Dua jam kemudian, kurang lebih pukul 7:30 waktu setempat, pesawat landing dengan mulus di bandara Narita. Para penumpang pun bergegas menuju loket imigrasi di terminal kedatangan. Saya bukan satu-satunya penerima beasiswa MEXT dari Indonesia yang datang ke Jepang hari itu. Kurang lebih ada 10 orang mahasiswa Indonesia yang berangkat dengan penerbangan yang sama, dan semuanya berdomisili di Tokyo dan sekitarnya.

Sesampai di loket imigrasi, antrian mulai mengular, walaupun belum panjang. Seorang petugas wanita dengan suara lantang dan bahasa Inggris yang lumayan lancar meminta agar orang-orang yang akan menetap di Jepang (permanent resident), termasuk mahasiswa, untuk menunggu di antrian yang berbeda dengan antrian turis. Di sana sudah ada sekelompok orang, sepertinya dari India atau Bangladesh, dan sebagian orang-orang dari Asia Tenggara, seperti Thailand atau Myanmar. Kami menunggu lumayan lama sebelum akhirnya diminta masuk ke dalam sebuah ruangan khusus untuk membuat Resident Card. Kartu ini bisa dibilang semacam KTP untuk gaijin alias orang asing, yang menunjukkan data, status dan periode menetap dari yang bersangkutan. Lucunya, konon kartu ini dulunya disebut Alien Card ... alien ... orang asing dianggap alien ... hahha. Walaupun kalau diartikan memang betul segala sesuatu yang asing itu alien, tp tetap aja aneh didengar.


Karena saya punya rencana suatu saat kerja sambilan di Jepang (baito), maka saya juga menyerahkan form aplikasi baito ke petugas imigrasi. Sebelum berangkat saya sudah membaca berbagai postingan di internet yang mewanti-wanti agar aplikasi ini dilakukan segera setelah mendarat di Jepang, karena prosesnya akan jauh lebih mudah dibandingkan bila aplikasinya dilakukan di kemudian hari. Setelah aplikasi, resident card akan diberi cap khusus yang menunjukkan kita sudah sah untuk bekerja part-time di Jepang.


Setelah urusan imigrasi beres, saya pun berpamitan ke teman-teman dari Indonesia untuk melanjutkan perjalanan ke Kashiwa, tempat tinggal saya selama di Jepang. Kota ini terletak kurang lebih 40an km di sebelah timur laut Tokyo. Kashiwa bisa dijangkau dengan angkutan umum seperti kereta, bus dan taksi. Berhubung bawaan saya lumayan banyak, saya lebih memilih bus karena tidak perlu pindah-pindah seperti halnya kereta, dan tentu saja ongkosnya tidak akan semahal taksi. Saya menggunakan Tobu Bus dengan tujuan Kashiwanoha Campus, daerah tempat tinggal saya. Ongkosnya 1700 yen untuk satu orang.

Perjalanan dari Narita ke Kashiwa ternyata lumayan lama, kurang lebih 2 jam, padahal kalo di peta kayaknya nggak terlalu jauh. Begitu sampai di Kashiwanoha, saya pun melanjutkan perjalanan via jalan kaki ke tujuan akhir. Jalan kaki ternyata adalah pilihan yang salah, karena jarak yang ditempuh lumayan jauh dari tempat turun bus tadi. Setelah susah payah mendorong dua koper ukuran jumbo sejauh kurang lebih 1 km, akhirnya saya sampai juga di rumah baru saya.


Kashiwa International Lodge alias Kashiwa lodge, demikian tempat ini disebut, adalah tempat tinggal mahasiswa dan peneliti internasional Todai. Sesuai namanya, para penghuni Kashiwa Lodge hampir semuanya pendatang. Dari pengamatan saya, sebagian besar orang yang tinggal di tempat ini berasal dari Tiongkok, sedangkan sisanya ada yg dari Korea, Turki, India, Yunani, Samoa, Indonesia, Filipina dan lain-lain. Suatu saat mungkin saya akan buat tulisan khusus tentang tempat ini.

Setelah menyelesaikan registrasi, saya pun masuk ke kamar yang sudah ditentukan. Hari pertama yang melelahkan. Tapi alhamdulillah, semuanya lancar, mulai dari berangkat sampai sesampainya di lodge.

Dua belas jam terlewati sejak kaki melangkah masuk ke pesawat di bandara Cengkareng semalam. Matapun terasa mulai berat. Selepas sholat dzuhur, saya beringsut ke kasur. Berbaring, melepaskan semua penat di badan.

Cukup sekian dulu laporan di hari pertama.